Thursday, January 24, 2019

HUKUM PEMDA DAN PEMDES KEWENANGAN DESA DAN DESA ADAT

Selamat malam dan salam sejahtera untuk kita semua, om swasti yatsu namu budaya....
Eaaa.... gimana nih teman- teman udah mirip nggak sama panitera, itu loh yang di pengadilan pengadilan itu.

kayak untuk malam ini, nggak perlu pakek muka dimah dulu deh, langsung aja ya saya posting tentang bagaimana kewenangan desa dan desa adat. ini tugas rekomen buat anak hukum yang lagi dapat tugas  matakuliah hukum pemda pemdes atau bagi anak rajin yang lagi cari referensi tentang kewenangan desa dan desa adat.

yooo guys dibaca....
Semoga bermanfaat...





HUKUM PEMDA DAN PEMDES
KEWENANGAN DESA DAN DESA ADAT
DISUSUN OLEH :
1.   DEVI TRIDIANASARI         (D1A016061)
2.   DEVY SHANDRA                 (D1A016062)
3.   DIMIPTA APRILIA             (D1A016066)
4.   DWI INDAH OLIVIA           (D1A016070)
5.   HUSWATUN HASANAH       (D1A016109)




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2018

KEWENANGAN DESA DAN KEWENANGAN DESA ADAT
Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Sebagaimana pemaparan dari mandagri Gamawan Fauzi dala Raker I RUU Desa:  

“ dalam rangka menunjang kemandirian desa maka desa perlu diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Dalam undang-undang ini kewenangan desa adalah meliputi kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa dan kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota.Kewenangan desa tersebut muncul dan terjadi karena kebutuhan yang berkembang di dalam masyarakat sehingga terhadap kewenangan ini Desa berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga desanya dan kepentingan masyarakatnya. Selain itu, kewenangan desa lainnya adalah kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa sebagai lembaga dan kepada Kepala Desa sebagai Penyelenggara Pemerintah Desa dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Pada pelaksanaan kedua kewenangan tersebut, desa hanya memiliki kewenangan mengurus atau melaksanakan, sehingga pembiayaan yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan tersebut harus menjadi beban bagi pihak yang melimpahkan kewenangan.”[1]

Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi : kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.
Dalam Pasal 19 dan 103 UU Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan[2] :

a. kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.
b. kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundangundangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. 
c. kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota. 
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari empat kewenangan tersebut, pada dua kewenangan pertama yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, terdapat beberapa prinsip penting yang dimiliki desa.Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut bukan-lah kewenangan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun.2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun.2005 tentang Pemerintahan Desa.Melainkan, sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas.Dan kedua jenis kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah.

Kewenangan berdasarkan hak asal usul merupakan kewenangan warisan yang masih hidup dan atas prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat.Sedangkan kewenangan lokal berskala Desa merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa.Kedua kewenangan ini merupakan harapan menjadikan desa berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Dengan kedua kewenangan ini Desa mempunyai hak “mengatur” dan “mengurus”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UU Desa, Desa maupun Desa Adat mempunyai kewenangan mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan menjalankan aturan tersebut. Atau bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul.

a.    Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul Kewenangan atau Hak Asal Usul dalam Pasal 19 huruf (a) UU Desa mencakup pengertian ; dimana hak-hak asli masa lalu yang telah ada sebelum lahir NKRI pada tahun 1945 dan tetap dibawa dan dijalankan oleh desa setelah lahir NKRI sampai sekarang. Disamping itu, hak-hak asli yang muncul dari prakarsa desa yang bersangkutan maupun prakarsa masyarakat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara meliputi : pengelolaan aset (sumberdaya alam, tanah ulayat, tanah kas Desa) dalam wilayah yurisdiksi Desa, pembentukan struktur pemerintahan Desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan melestarikan adat dan budaya setempat. Kewenangan asal usul Desa sebagaimana dalam Pasal 33 huruf (a) UU Desa diuraikan Pasal 34 ayat (1) PP No. 43. Tahun 2014, yang paling sedikit kewenangan tersebut terdiri atas :

(a)sistem organisasi masyarakat adat;
(b)pembinaan kelembagaan masyarakat;
(c)pembinaan lembaga dan hukum adat;
(d)pengelolaan tanah kas Desa;
(e)pengembangan peran masyarakat Desa.

Dan ruang lingkup kewenangannya dibeberkan lagi secara rinci dalam Pasal 2 Permendesa PDTT No. 1 Tahun.2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Dan untuk kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul, secara khsusus dijelaskan lagi lebih gambang dalam Pasal 103 UU Desa, yang diantaranya meliputi ; pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli, pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat, dan pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat. Yang operasionalnya diperjelas dalam Pasal 3 Permendesa PDTT No. 1 Tahun. 2015.

Dengan frasa “pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli” dalam Pasal 103 UU Desa di atas berarti, bahwa negara harus memperhatikan dan menghormati kewenangan-kewenangan asal-usul yang terkait dengan nomenklatur dan institusi atau organisasi desa. Misalnya sebutan lokal untuk istilah “desa” yang di daerah tertentu diistilahkan dengan Pakraman, Kampung, Gampong, Nagari, Banua, atau Lembang. Juga sebutan untuk istilah “diskusi” atau “musyawarah” yang di berbagai lokal daerah di Indonesia ada yang menggunakan istilah Kerapatan di Sumatera Barat, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali, Gawe Rapah di Lombok, Saniri di Maluku. Maupun beragam sebutan untuk perangkat desa yang di berbadgai daerah mempunyai istilah sendiri-sendiri, misalnya kewang, pecalang, jogoboyo, kebayan, carik, dan sebagainya.Istilah-istilah tersebut tidak hanya bermakna nomenklatur, melainkan bisa mengandung pengetahuan, nilai dan jati diri suatu masyarakat.Dan dengan frasa “pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat” menunjukkan, bahwa negara tidak boleh melakukan campur tangan atau mengambil alih terhadap tanah-tanah desa sebagai hak asal usul desa.Walaupun begitu, negara tetap masih bisa melakukan pembinaan atas pengaturan dan pengelolaan serta memberikan perlindungan (proteksi) untuk menjaga kelestarian dan optimalisasi pemanfataan.Hal ini karena tidak sedikit desa Adat atau Desa di Indonesia yang mempunyai tanah desa sebagai aset desa yang dijaga dan diwariskan secara turun temurun.Tanah desa merupakan hak asal-usul desa yang paling vital, sebab tanah merupakan aset (kekayaan) yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan bagi desa dan masyarakat.Oleh karena itu negara perlu memberikan pengakuan dan penghormatan (rekognisi) terhadap tanah sebagai hak asal usul desa. Juga dengan frasa “pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat”, desa bisa dilakukan dengan langkah konservasi dan revitalisasi  kearifan lokal terkemuka yang sudah ada dan mengakar di setiap daerah. Kearifan lokal mengandung pranata lokal atau sistem norma yang mengejawantahkan nilai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme, dan religi yang tumbuh, berkembang, dan dianut masyarakat lokal, dalam fungsinya sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan interaksi antar warga masyarakat (social order), keteraturan hubungan dengan sang pencipta dan roh-roh yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural (spiritual order), atau menjaga keteraturan perilaku masyarakat dengan alam lingkungan atau ecological order. Seperti di Bantaeng, dimana sampai saat ini dilestarikan lembaga dan kearifan lokal accidong sipangadakkang. Lembaga Ini merupakan institusi asal-usul tetapi memperoleh isi baru.Desa di Bantaeng menggunakan lembaga itu sebagai forum perencanaan pembangunan partisipatif yang menjamin keterlibatan perempuan dan kaum miskin.Kelembagaan accidong sipangadakkang tersebut mendapat legitimasi dan rekognisi (pengakuan) dengan Perda Kabupaten Bantaeng. Tata nilai ini memiliki daya dorong yang cukup efektif untuk mengembangkan serta memperluas ruang partisipasi, peran aktif kelompok sosial, forum warga, jaringan antar kelompok, sehingga mampu mendorong partisipasi warga, terlibat dalam proses pengambilan keputusan baik dalam organisasi warga sendiri maupun forum musyawarah tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Di Lombok Barat juga dilestarikan lembaga lokal bernama gawe rapah. Lembaga asli ini bukanlah suatu wadah yang diberi mantra dan guna-guna oleh orang pintar agar menghasilkan keputusan brilian, melainkan sebagai media berkumpulnya (bermusyawarah) semua pemangku kepentingan dengan mengedepankan metode revitalisasi nilai lama dan modern; berupa partisipasi, kesetaraan, pembagian kewenangan, optimalisasi aset, kebersamaan, kesalingpercayaan (mutual trust) dan keterbukaan. Prinsip utama dalam tradisi ini yakni setiap orang mempunyai kebebasan dan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan masalah dan menawarkan solusi atas persoalan yang dihadapi secara santun dan beretika.

b. Kewenangan Lokal Berskala Desa Kewenangan lokal berskala Desa, sebagaimana Pasal 33 huruf (b) UU Desa, adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa. Kewenangan tersebut digamblangkan lagi dalam Pasal 34 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014, yang diantaranya adalah : pengelolaan pasar Desa, pengelolaan jaringan irigasi, atau pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu. Artinya, kewenangan lokal berskala desa, sebagaimana penjelasan Pasal 5 Permendesa PDTT No. 1 Tahun 2015, mempunyai kriteria sbb :
a. Kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
b. Kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa.
c. Kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-hari masyarakat Desa.
d. Kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa Desa.
e. Program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh Desa.
f. Kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan lokal berskala desa meliputi beberapa bidang, yaitu : bidang pemerintahan Desa, bidang pembangunan Desa, bidang kemasyarakatan Desa, dan bidang pemberdayaan masyarakat Desa. Kewenangan lokal berskala desa haruslah kewenangan yang muncul dari prakarsa masyarakat sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan kondisi lokal desa. Hal itu supaya kewenangan tersebut sejalan dengan kepentingan masyarakat sehingga akan bisa diterima dan dijalankan. Hanya saja, kewenangan yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara langsung ini mempunyai cakupan yang relatif kecil dalam lingkup desa.Apalagi kewenagan yang berkaitan sangat dekat dengan kebutuhan hidup sehari-hari warga desa kurang mempunyai dampak keluar (eksternalitas) dan kebijakan makro yang luas.Jenis kewenangan lokal berskala desa ini merupakan turunan dari konsep subsidiaritas, sehingga masalah atau urusan berskala lokal yang sangat dekat dengan masyarakat sebaik mungkin diputuskan dan diselesaikan oleh organisasi lokal (dalam hal ini adalah desa), tanpa harus ditangani oleh organisasi yang lebih tinggi.Menurut konsep subsidiaritas, urusan yang terkait dengan kepentingan masyarakat setempat atas prakarsa desa dan masyarakat setempat, disebut sebagai kewenangan lokal berskala desa.Pelaksanaan kewenangan lokal tersebut berkonsekuensi terhadap masuknya program-program pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 UU Desa menegaskan, bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (a) dan (b) UU Desa) diatur dan diurus oleh Desa. Pasal ini terkait dengan Pasal 81 ayat (4 dan 5) : “Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa” dan “Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”. Rangkaian pasal itu menegaskan bahwa kewenangan lokal bukanlah kewenangan pemerintah supra-desa (termasuk kementerian sektoral) melainkan menjadi kewenangan desa.karena selama ini hampir setiap kementerian sektoral memiliki proyek masuk desa yang membawa perencanaan, birokrasi, pendekatan, bantuan dan membangun kelembagaan lokal di ranah desa. Ada desa mandiri energi (ESDM), pengembangan usaha agribisnis perdesaan (pertanian), desa siaga (kesehatan) dan yang lainnya.Dengan UU Desa ini, semua program tersebut adalah kewenangan lokal berskala desa yang dimandatkan oleh UU Desa untuk diatur dan diurus oleh desa.Dengan dimikian, diharapkan bisa mendorong desa untuk berdaulat, mandiri dan berkepribadian sebagaimana citacita pemerintahan sekarang ini.Desa berdaulat, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga Pasal 5 dalam UU Desa, dimana Desa tidak lagi sub-ordinat kabupaten.Dengan begitu semua pihak harus menghormati desa.Sementara konsepsi desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian.Dimana desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.Kemandirian desa ini juga ditopang kewenangan lokal berskala desa.




Daftar Pustaka
Silahuddin, M. (2015).Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Jakarta: Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018







[1]kedesaku.id (Juni,2016). Kewenangan Desa Adat.  http://kedesa.id/id_ID/wiki/lembaga-kemasyarakatan-lembaga-desa-adat-dan-ketentuan-kekhususan-desa-adat/ketentuan-khusus-desa-adat/kewenangan-desa-adat/
[2]UU No.6 Tahun 2014 Tentang Pemerentahan Desa, Pasal 19 dan 103

No comments:

Post a Comment

QS. AL FATIR AYAT 32 PEMBAHASAN DAN HUKUM TAJWIDNYA

QS. AL-FATIR AYAT 32     ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِم...