Thursday, January 24, 2019

MAKALAH ADAT PISUKE DALAM PERNIKAHAN SUKU SASAK

Hay guys....
Berbicara tentang adat dan istiadat Indonesia kaya banget nih sama keragaman budanya dimana kebudayaan ini menjadikan Indonesia kaya juga dengan adat istiadat. Nah, pasti di daerah teman-teman adatnya beda-beda kan. sama juga dengan di daerahku. dikit informasi ya teman-teman, kalau saya ini orang lombok, ya suku sasak gitu. tau nggak kalau di suku sasak itu di setiap desa itu adatnya beda-beda apalagi hukum adatnya, kalau disini hukum adat itu disebut dengan awik-awik.

Pasti teman-teman nggak asing kan dengan adat di lombok atau suku sasak tentang pernikahannya yang disebut dengan "melaik dan merarik". nah disini di dalam makalah yang saya buat ini saya  mau share tentang adat pernikahan di suku sasak.
Oke langsung saja, teman -teman bisa baca atau download link dibawah.




MAKALAH
ADAT PISUKE DALAM PERNIKAHAN SUKU SASAK



DI SUSUN OLEH :
NAMA  :
Devy Shandra Purwati
NIM      :
D1A016062
KELAS :
A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018


KATA PENGANTAR

          Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Adat Pisuke dalam Pernikahan Suku Sasak”. Penyusunan makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas hukum adat. Selain itu juga tujuan dari penyusunan karya tulis ini juga untuk menambah wawasan tentang system pernikahan di Lombok.
          Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi saya sendiri dan orang-orang yang membaca makalah ini.
           Akhir kata saya menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf apabila makalah ini jauh dari kata sempurna, dan saya mengucapkan banyak terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca.


Mataram, 02 Januari 2017
Hormat saya


(Devy Shandra Purwati)





DAFTAR ISI




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Di dalam suatu pernikahan mahar merupakan suatu kewajiban yang harus diserahkan oleh membelai laki-laki kepada membelai wanita. Secara terminologi menurut Taqiyuddin Abu Bakar mahar adalah harta yang diberikan kepada perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau bersetubuh. Sedangkan dalam adat suku sasak seorang laki-laki juga diharuskan untuk membayar uang pisuke (jaminan) sehingga pernikahan tersebut dikataan sah menurut hukum adat. Pisuke merupakan salah satu proses dalam pernikahan pada suku sasak. Adat pisuke terkandung dalam membait wali yaitu penjemputan wali dari perempuan untuk menikahkan anaknya, sekaligus membicarakan harga mahar dan tawar menawar tentang seberapa besaran pisuke yang akan diberikan oleh membelai laki-laki. Proses pisuke ini menjadi penentu apakah pernikahan akan dilanjutkan atau tidak, serta uang pisuke digunakan sebagai biaya dalam proses pernikahan.
Secara istilah pisuke adalah uang jaminan yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan karena telah membawa lari putrinya, uang pisuke berfungsi sebagai uang pengganti lelah atau jasa bagi wali perempuan yang telah membesarkan anak perempuannya. Bentuk pisuke dalam pernikahan adat masyarakat suku sasak tidak hanya berbentu barang melainkan juga dapat berbentuk uang.
Dalam pelaksanaannya pisuke tidak jarang para wali dari pihak perempuan menentukan harga biaya pisuke yang sangat tinggi tampa mempertimbangkan kemampuan dari pihak laki-laki. Hal ini disebabkan menurut wali dari perempuan  biaya yang telah mereka keluarkan untuk membasarkan anaknya sangatlah besarkan sehingga harus sebanding dengan biaya pisuke itu sendiri. Tentunya hal ini sangat memberatkan pihak laki-laki dan berakibat dalam proses pernikahan yang berlarut-larut karena belum terjadinya kesepakatan.
Jika diperhatikan secara mendalam pelaksanaan pisuke seperti di atas lebih banyak mendatangkan mudarat dari pada kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Bagi pihak laki-laki memberatkan dalam urusan pembiayaan serta dapat memutuskan tali silaturahmi dari calon atau mertuanya. Sedangkan dari pihak perempuan juga dapat memutuskan tali silaturahmi dengan orang tuanya karena mempersulit pasangannya.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pisuke?
2.      Bagaimana implementasi adat pisuke dalam pernikahan di suku Sasak?
3.      Bagaimana mengatasi permasalahan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan pisuke yang diterapkan oleh orang tua membelai wanita?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pisuke
2.      Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pisuke dalam pernikahan di suku sasak
3.      Memberikan solusi terhadap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pisuke dalam masyarakat suku Sasak
1.4  Manfaat
1.      Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai pisuke yang ada dalam adat sasak.
2.      Membantu dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dalam perkawinan yang menyangkut proses pisuke melalui tulisan.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Penelitian terdahulu
Penulusuran penulis terhadap penelitian terdahulu yaitu dari hasil skripsi yang dilakukan oleh Sri Suci Haryanti yang berjudul ”Pisuke dalam Pernikahan Perspektif Maslahah Mursalah” (Study di Desa Tanak Beak Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat). Penelitian ini berfokus pada banyaknya kemudaratan yang dihasilkan dari pisuke dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat suku Sasak.
B. Kerangka konseptual dan teori
1. Pengertian Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Pengertian perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di nyatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Pengetian perkawinan menurut hukum adat
Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia umumnya bukan saja sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa pada hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan dalam arti “perikatan adat‟ ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukumnya telah ada sebelum perkawinan terjadi misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan „rasan sanak (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan „rasan tuha‟ (hubungan keluarga dari calon suami istri). Perkawinan dapat dibentuk dan bersistem antara lain:
1. Perkawianan jujur yaitu pelamaran di lakukan oleh pihak pria terhadap pihak wanita dan kemudian setelah perkawinan istri mengikuti kedudukan dan kediaman suami. 
2. Perkawinan semanda yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak wanita  terhadap laki-laki dan setelah perkawinan suami mengikuti kedudukan dan kediaman istri. 
3. Perkawinan “perda cocok‟ yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap wanita dan kemudian setelah perkawinan kedua suami-istri bebas menentukan kediaman mereka, yang terahir ini banyak berlaku dikalangan keluarga yang telah maju (modern).
c. Pengertian perkawinan menurut hukum Islam
Istilah yang digunakan dalam bahasa arab pada istilah-istilah fikih tentang perkawinan munakahat/nikah, sedangkan dalam bahasa arab pada perundang undangan tentang perkawinan yaitu ahkam Al-Zawaj atau ahkam izwaj. Perkawinan adalah akad atau persetujuan antara calon suami dan calon istri karenanya berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah terima. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah tangga,maka hendaknya keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu2. Perkawian merupakan perikatan antara wali perempuan (calon istri) dengan suami perempuan itu, bukan hanya perikantan anatara seorang perian dan wanita saja seperti yang di sebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.Proses pernikahan dalam hukum adat
Merariq atau kawin lari adalah suatu proses adat dalam pernikahan yang masih diterapkan oleh masyarakat Lombok. Istilah merariq berasal dari kata yang dalam bahasa sasak “berari” dan mengandung dua arti , pertama adalah “lari” (lari dalam arti sebenarnya), dan yang kedua adalah teknik atau symbol untuk membebaskan seorang perempuan dari ikatan orang tuanya serta keluarganya. Proses merariq ini adalah tindakan awal seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan tampa adanya persetujuan dari perempuan yang akan dilarikan. Setelah perempuan tersebut berhasil dibebaskan dari ikatan kedua orang tuanya, lalu akan disembunyikan di bale penyeboqan (rumah persempunyian) yang biasanya merupakan rumah keluarga atau kerabat dari pihk laki-laki.
Proses pernikahan dalam adat sasak adalah sebagai berikut :
·         Midang (apel) seorang laki-laki berkunjung kerumah kekasihnya dalam rangka agar lebih dekat dengan perempuannya maupun wali dari perempuan tersebut. Hal ini merupakan proses awal seorang laki-laki merencankaan merariq tersebut.
·         Merariq (berlari) adalah sebuah symbol atau teknik untuk membebaskan seorang perempuan dari kekuasaan walinya atau keluarganya yaitu dengan cara membawa lari perempuan tersebut dan akan disembunyikan di bale penyeboqan (rumah persembunyian).
·         Selebar dan Mesejati, dimana pihak laki-laki melaporkan kepada kepala dusun tempat perempuan yang dibawa lari berdomisili beserta menggambarkan keluarga dari pihak perempuan tersebut bahwa anaknya telah dilarikan (merariq) sekaligus untuk menjemput wali dari perempuan tersebut untuk menikahkan anaknya.
·         Mbait wali adalah dimana pihak laki-laki meminta kedua orang tua dari pengantin perempuan untuk menikahkan anaknya sebagaimana akad dalam hukum islam, dan setelah berlangsungnya akad nikah , dilanjutkan dengan proses pernikahan yang merupakan salah satu inti dari semua proses dalam adat pernikahan yaitu adanya tawar menawar tentang besaran uang pisuke (jaminan) yang akan dijadikan sebagai biaya dalam proses pernikahan selanjutnya.
·         Penyerahan pisuke dalam hal ini pihk laki-laki dituntut untuk membayar uang pisuke yang telah disepakati pada proses pernikahan sebelumnya yaitu pada proses membait wali kepada pihak perempuan yang akan digunakan untuk biaya proses pernikahan selanjutnya.
·         Mbait janji, perundingan antara pihak laki-laki dengan pihak peempuan untu menentukan waktu pelaksanaan dari proses pernikahan selanjutnya, yaitu ajikrama (sorong serah) yang merupakan puncak dari upacara adat pernikahan di Lombok, dimana membelai wanita diserahkan oleh walinya kepada suaminya.
·         Ajikrama (sorong serah) symbol dari pemberian dan penerimaan pengantin perempuan dalam sebuah pernikahan yang dilaksanakan di kediaman wali dari pengantin perempuan dengan cara keluarga dari pengantin laki-lakimendatangi kediaman tersebut.
·         Nyongkolan atau arak arakan pengantin yang diiringi oleh gendang belek (alat music tradisional sasak yang diikuti oleh keluarga dan kerabat dari kedua pihak). Pengantin akan diarak dari rumah pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan. Tujuannya untuk mengumumkan kepada masyarakat sekitar bahwa mereka telah melaksanakan pernikahan.
3.      Pisuke dalam adat pernikahan
1)      Sejarah Adat Pisuke
Pemberlakuan proses adat pisuke atau gentiran adalah dimana pada dahulu kala ada dua orang laki-laki dan pemudi yang sedang berpacaran, kedua keluarga dari pasangan ini termasuk dalam katagori keluarga yang berada. Laki-laki tersebut ingin menikahi pasangannya, akan tetapi kedua orang tua perempuan ini tidak menyetujui keinginan dari laki-laki tersebut. Hal ini dikarenakan laki-laki tersebut dikenal memiliki sikap dan sifat yang tidak disenangi oleh kedua orang tua dari perempun tersebut. Lai-laki ini sangat ingin menikahi pasangannya hingga nekat untuk melamar perempuan tersebut walaupun ia sudah mengetahui bahwa kedua orang tua dan perempuan tersebut tidak menyetujui lamarannya. Karena tidak bias menolak untuk menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki tersebut, maka kedua orang tua dari perempuan ini membuat inisiatif agar laki-laki tersebut membatalkan lamarannya, yaitu dengan cara memberikan syarat-syarat yang dianggap sangat berat untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya sang laki-laki dapat memenuhi semua persyaratan yang diajukan sehingga membuat hati orang tua perempuan tersentuh dan dapat menerima sang laki-laki sebagai menantunya. Pemberlakuan syarat-syarat tersebut diikuti oleh mayarakat lainnya sehingga menjadi kebiasaan yang dilakuakn turun temurun di Lombok.
2)       Defiisi pisuke
Menurut bahasa “pisuke” berarti pemmberian dari pihak laki-laki yang sesuai dengan kemampuannya yag akan melangsungkan sebuah pernikahan. Sedangkan menurut istilah, pisuke berarti uang jaminan yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dikarenakan telah menikahi anak perempuan dari orang tuanya. Biaya pisuke ini digunakan sebagai biaya proses pernikahan, seperti repsesi yang dilaksanakan di kediaman pihak perempuan.
Tingginya biaya pisuke biasanya disebabkan oleh banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh pihak keluarga dalam membesarkan anaknya dengan kata lain sebagai ganti rugi atas biaya yang dikeuarkan selama ini. Tingginya biaya pisuke inilah menyebabkan timbulnya konflik seperti yang dijelaskan diatas.
3)      Proses adat pisuke
Adat pisuke dilakukan setelah proses adat mbait wali dimana pihak laki-laki meminta wali dari pihak perempuan untuk menikahkan anak perempuannya. Proses adat pisuke dibicarakan melalui kepala dusun dari tempat kediaman pihak laki-laki ketempat kediaman pihak perempuan. Proses ini diawali dengan pertemuan pihak laki-laki dengan kepala dusunnya membahas tentang biaya pisuke. Kemudian, barulah menuju kepala dusun pihak perempuan untuk meakukan tawa menawar. Hal ini dikarenakan keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga dari pihak perempuan tidak diizinkan untuk bertemu hingga biaya pisuke dibayarkan. Pada saat kedua kepala dusun bertemua, kepala dusun pihak perempuan memberitahukan besaran biaya pisuke yang harus dibayar oleh pihak laki-laki yang sebelumnya sudah diberitahuakn oleh pihak perempuan. Setelah itu, kepala dusun dari pihak laki-laki memberitahukan kepada pihak laki-laki besaran pisuke yang harus dibayarnya. Setelah seminggu, piak laki-laki memberitahukan ketidak sanggupannya atas biaya pisuke yang harus dibayar melalui kepala dusunnya.
Kepala dusun dari pihak laki-laki akan menemui kepala dusun pihak perempuan untuk melakukan penawaran. Setelah mendapatkan kesepakatan, pihak laki-laki harus membayar secara tunai besaran pisuke yang telah disepakati.

BAB III
 PEMBAHASAN
3.1  Pengertian Pisuke
Menurut bahasa “pisuke” berarti pemmberian dari pihak laki-laki yang sesuai dengan kemampuannya yang akan melangsungkan sebuah pernikahan. Sedangkan menurut istilah, pisuke berarti uang jaminan yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dikarenakan telah menikahi anak perempuan dari orang tuanya. Biaya pisuke ini digunakan sebagai biaya proses pernikahan, seperti repsesi yang dilaksanakan di kediaman pihak perempuan. Ada juga yang menyamakan antara pisuke dan gantiran seprti dijelaskan bahwa nyerah gantiran atau pisuke adalah menyerahkan bantuan kepada keluarga pengantin wanita. biasanya sekita seminggu sebelum upacara adat dilaksanakan. pihak keluarga pria mengantarkan bahan -bahan berupa sapi/kerbau, beras, kayu bakar, dan lain-lain.
            Berdasarkan pengertian diatas dalam penerapannya di tengah masyarakat sangat jauh dari pengertian dari pisuke itu sendiri. Biaya pisuke ini seringkali membebankan pihak laki-laki terlebih jika orang tua perempuan tidak menyukai laki-laki yang akan menjadi calon menantunya. Pihak perempuan atau orang tua perempuan seringkali meninggikan biaya pisake sering berakibat konflik terutama pemutusan tali silaturahmi dan hubungan baik diantara keduanya.
3.2  Implementasi adat pisuke dalam pernikahan di suku Sasak
Pelaksanan pisuke ditengah masyarakat suku sasak sangat bertentangan dengan syarat kebiasaan itu sendiri seperti harus diterima oleh akal dan sesuai dengan perasaan moral pada umumnya. Dalam pelaksanaan pisuke yang sudah menjadi kebiasaan ini tidaklah sesuai dengan ketentuan syara’.
Dalam pelaksanaannya pisuke di suku sasak ini lebih banyak mendatagkan mudarat dari pada mendatangkan kemaslahatan.
Sebagaimana pengertian yang telah disampaikan diatas seharusnya pelaksanaan pisuke ini tidak bertetangan dengan pengertian dari pisuke itu sendiri. Dimana seharusnya dalam pelaksanaannya pisuke ini harus melihat segi ekonomi atau kemampuan dari pihak laki-laki sehingga tidak membebani pihak laki-laki yang ingin menikahi orang yang ia cintai.
Walaupun biaya pisuke merupakan hak mutlak dari orang tua pihak perempuan tak seharusnya orang tua mengambil kesempatan untuk menarik biaya yang tinggi. Hal yang seperti ini tentunya sering mendatangkan konflik baik bagi orangtua dan pihak wanita ataupun dengan orang tua dengan pihak laki-laki dan keluarganya. Hal ini juga dapat berdampak pada psikologis pihak yang akan menikah terutama pihak perempuan.
Dalam pelaksanaan pisuke ini seharusnya sesuai dengan pengertian pisuke itu sendiri, diukur dari kemampuan pihak laki-laki.
3.3  Solusi terhadap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pisuke dalam masyarakat suku Sasak.
Berdasarkan permasalahan yang timbul dari adat pisuke penulis menawarkan sebuah gagasan untuk mengatasi dampak pelaksanaan pisuke yang ada di tengah masyarakat suku sasak tampa harus menghilakan adat pisuke itu sendiri yang merupakan salah satu dari keberagaman adat yang dimiiki suku sasak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dimanfaatkan balai adat dalam perundingan mengenai biaya pisuke dengan menghadirkan perwakilan atau wali dari kedua belah pihak dengan disaksikan oleh para tetua adat, kepala adat atau lingkungan yang menjadi penengah diantara kedua belah pihak.
Tetua adat, kepala adat atau lingkungan berasal dari kedua belah pihak untuk mengindari ketidak adilan dalam pelaksanaan pisuke.
Awalnya tetua adat dan kepala adat atau kepala lingkungan hanya berfungsi sebagai pengamat dalam proses tawar menawar, ketika tawar menawar dalam pisuke tidak menemui titik temu barulah mereka melakukan musyawarah mengambil jalan tengah yang dimana tidak memberatkan atau merugikan kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak menimbulkan konflik. Selain itu pelaksanaan seperti ini lebih efisien menghemat waktu dibandingkan dengan melalui perentara kepala desa dan harus kembali ke masing-masing pihak sampai mendapatkan kesepakatan.












BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dalam pelaksanaan pisuke ditengah masyarakat suku sasak seringkali tidak sesuai dengan pengertian dari pisuke itu sendiri, terlebih lagi orang tua dari pihak wanita memanfaatkan pisuke dengan menerapkan biaya yang tinggi sehingga memberatkan pihak laki-laki dengan dalih pisuke itu sebagai hak mutlak dari orang tua pihak perempuan.

















BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Unila.Tinjauan Pustaka.(2011). Diperoleh pada 1 Januari 2017 di http://digilib.unila.ac.id/9391/5/BAB%20II.pdf
Haryanti, sri Suci. (2017) Pisuke dalam Adat Pernikahan Persfektif (study kasusu di di Desa Tanak Beak Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat). Diperoleh pada 1 Januari 2017 di http://etheses.uin-malang.ac.id/6920/1/13210072.pdf




1 comment:

QS. AL FATIR AYAT 32 PEMBAHASAN DAN HUKUM TAJWIDNYA

QS. AL-FATIR AYAT 32     ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِم...