Berbicara tentang adat dan istiadat Indonesia kaya banget nih sama keragaman budanya dimana kebudayaan ini menjadikan Indonesia kaya juga dengan adat istiadat. Nah, pasti di daerah teman-teman adatnya beda-beda kan. sama juga dengan di daerahku. dikit informasi ya teman-teman, kalau saya ini orang lombok, ya suku sasak gitu. tau nggak kalau di suku sasak itu di setiap desa itu adatnya beda-beda apalagi hukum adatnya, kalau disini hukum adat itu disebut dengan awik-awik.
Pasti teman-teman nggak asing kan dengan adat di lombok atau suku sasak tentang pernikahannya yang disebut dengan "melaik dan merarik". nah disini di dalam makalah yang saya buat ini saya mau share tentang adat pernikahan di suku sasak.
Oke langsung saja, teman -teman bisa baca atau download link dibawah.
MAKALAH
ADAT
PISUKE DALAM PERNIKAHAN SUKU SASAK
DI
SUSUN OLEH :
NAMA :
|
Devy Shandra Purwati
|
NIM :
|
D1A016062
|
KELAS :
|
A
|
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MATARAM
MATARAM
2018
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Adat Pisuke dalam Pernikahan Suku Sasak”. Penyusunan makalah ini
disusun bertujuan untuk memenuhi tugas hukum adat. Selain itu juga tujuan dari
penyusunan karya tulis ini juga untuk menambah wawasan tentang system
pernikahan di Lombok.
Semoga
makalah ini memberikan manfaat bagi saya sendiri dan orang-orang yang membaca
makalah ini.
Akhir
kata saya menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf apabila makalah ini
jauh dari kata sempurna, dan saya mengucapkan banyak terima kasih, semoga
artikel ini bermanfaat bagi para pembaca.
Mataram, 02 Januari 2017
Hormat saya
(Devy Shandra Purwati)
DAFTAR
ISI
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di dalam suatu pernikahan mahar merupakan suatu
kewajiban yang harus diserahkan oleh membelai laki-laki kepada membelai wanita.
Secara terminologi menurut Taqiyuddin Abu Bakar mahar adalah harta yang
diberikan kepada perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau
bersetubuh. Sedangkan dalam adat suku sasak seorang laki-laki juga diharuskan
untuk membayar uang pisuke (jaminan) sehingga pernikahan tersebut dikataan sah
menurut hukum adat. Pisuke merupakan
salah satu proses dalam pernikahan pada suku sasak. Adat pisuke terkandung dalam membait wali yaitu penjemputan wali dari
perempuan untuk menikahkan anaknya, sekaligus membicarakan harga mahar dan
tawar menawar tentang seberapa besaran
pisuke yang akan diberikan oleh membelai laki-laki. Proses pisuke ini menjadi penentu apakah
pernikahan akan dilanjutkan atau tidak, serta uang pisuke digunakan sebagai biaya dalam proses pernikahan.
Secara istilah pisuke
adalah uang jaminan yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada pihak
keluarga perempuan karena telah membawa lari putrinya, uang pisuke berfungsi sebagai uang pengganti
lelah atau jasa bagi wali perempuan yang telah membesarkan anak perempuannya.
Bentuk pisuke dalam pernikahan adat
masyarakat suku sasak tidak hanya berbentu barang melainkan juga dapat
berbentuk uang.
Dalam pelaksanaannya pisuke tidak jarang para wali dari pihak perempuan menentukan harga
biaya pisuke yang sangat tinggi tampa
mempertimbangkan kemampuan dari pihak laki-laki. Hal ini disebabkan menurut
wali dari perempuan biaya yang telah
mereka keluarkan untuk membasarkan anaknya sangatlah besarkan sehingga harus
sebanding dengan biaya pisuke itu
sendiri. Tentunya hal ini sangat memberatkan pihak laki-laki dan berakibat
dalam proses pernikahan yang berlarut-larut karena belum terjadinya
kesepakatan.
Jika diperhatikan secara mendalam pelaksanaan pisuke
seperti di atas lebih banyak mendatangkan mudarat dari pada kemaslahatan bagi
kedua belah pihak. Bagi pihak laki-laki memberatkan dalam urusan pembiayaan
serta dapat memutuskan tali silaturahmi dari calon atau mertuanya. Sedangkan
dari pihak perempuan juga dapat memutuskan tali silaturahmi dengan orang tuanya
karena mempersulit pasangannya.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan pisuke?
2.
Bagaimana
implementasi adat pisuke dalam
pernikahan di suku Sasak?
3.
Bagaimana
mengatasi permasalahan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan pisuke yang diterapkan oleh orang tua membelai wanita?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan
pisuke
2.
Untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan pisuke
dalam pernikahan di suku sasak
3.
Memberikan
solusi terhadap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pisuke dalam masyarakat suku Sasak
1.4 Manfaat
1.
Menambah
wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai pisuke
yang ada dalam adat sasak.
2.
Membantu
dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dalam perkawinan yang menyangkut
proses pisuke melalui tulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian
terdahulu
Penulusuran penulis terhadap penelitian terdahulu
yaitu dari hasil skripsi yang dilakukan oleh Sri Suci Haryanti yang berjudul ”Pisuke dalam Pernikahan Perspektif Maslahah
Mursalah” (Study di Desa Tanak Beak Kecamatan
Narmada Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat). Penelitian ini
berfokus pada banyaknya kemudaratan yang dihasilkan dari pisuke dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat suku Sasak.
B.
Kerangka
konseptual dan teori
1. Pengertian Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Pengertian perkawinan
menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perkawinan adalah pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dalam
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di nyatakan perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Pengetian perkawinan menurut hukum adat
Perkawinan menurut hukum
adat di Indonesia umumnya bukan saja sebagai perikatan perdata tetapi juga
merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan
ketetanggaan, jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa
pada hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri,
harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga
menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan,
dan ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan
dalam arti “perikatan adat‟ ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum
terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat
hukumnya telah ada sebelum perkawinan terjadi misalnya dengan adanya hubungan
pelamaran yang merupakan „rasan sanak (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan
„rasan tuha‟ (hubungan keluarga dari calon suami istri). Perkawinan dapat
dibentuk dan bersistem antara lain:
1. Perkawianan jujur yaitu pelamaran di lakukan oleh pihak pria terhadap
pihak wanita dan kemudian setelah perkawinan istri mengikuti kedudukan dan
kediaman suami.
2. Perkawinan semanda yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak wanita terhadap laki-laki dan setelah perkawinan
suami mengikuti kedudukan dan kediaman istri.
3.
Perkawinan “perda cocok‟ yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki
terhadap wanita dan kemudian setelah perkawinan kedua suami-istri bebas
menentukan kediaman mereka, yang terahir ini banyak berlaku dikalangan keluarga
yang telah maju (modern).
c. Pengertian perkawinan menurut hukum Islam
Istilah yang digunakan dalam
bahasa arab pada istilah-istilah fikih tentang perkawinan munakahat/nikah,
sedangkan dalam bahasa arab pada perundang undangan tentang perkawinan yaitu
ahkam Al-Zawaj atau ahkam izwaj. Perkawinan adalah akad atau persetujuan antara
calon suami dan calon istri karenanya berlangsung melalui ijab dan qobul atau
serah terima. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk
membentuk suatu rumah tangga,maka hendaknya keduanya melakukan akad nikah
terlebih dahulu2. Perkawian merupakan perikatan antara wali perempuan (calon
istri) dengan suami perempuan itu, bukan hanya perikantan anatara seorang
perian dan wanita saja seperti yang di sebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.Proses pernikahan dalam hukum adat
Merariq atau kawin
lari adalah suatu proses adat dalam pernikahan yang masih diterapkan oleh
masyarakat Lombok. Istilah merariq berasal dari kata yang dalam bahasa sasak
“berari” dan mengandung dua arti , pertama adalah “lari” (lari dalam arti
sebenarnya), dan yang kedua adalah teknik atau symbol untuk membebaskan seorang
perempuan dari ikatan orang tuanya serta keluarganya. Proses merariq ini adalah
tindakan awal seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan tampa
adanya persetujuan dari perempuan yang akan dilarikan. Setelah perempuan
tersebut berhasil dibebaskan dari ikatan kedua orang tuanya, lalu akan
disembunyikan di bale penyeboqan (rumah
persempunyian) yang biasanya merupakan rumah keluarga atau kerabat dari pihk
laki-laki.
Proses pernikahan dalam adat sasak adalah sebagai
berikut :
·
Midang (apel) seorang laki-laki berkunjung kerumah kekasihnya dalam rangka
agar lebih dekat dengan perempuannya maupun wali dari perempuan tersebut. Hal
ini merupakan proses awal seorang laki-laki merencankaan merariq tersebut.
·
Merariq (berlari) adalah sebuah symbol atau teknik untuk membebaskan seorang
perempuan dari kekuasaan walinya atau keluarganya yaitu dengan cara membawa
lari perempuan tersebut dan akan disembunyikan di bale penyeboqan (rumah persembunyian).
·
Selebar dan Mesejati, dimana pihak
laki-laki melaporkan kepada kepala dusun tempat perempuan yang dibawa lari
berdomisili beserta menggambarkan keluarga dari pihak perempuan tersebut bahwa
anaknya telah dilarikan (merariq)
sekaligus untuk menjemput wali dari perempuan tersebut untuk menikahkan
anaknya.
·
Mbait wali adalah dimana pihak laki-laki meminta kedua orang tua
dari pengantin perempuan untuk menikahkan anaknya sebagaimana akad dalam hukum
islam, dan setelah berlangsungnya akad nikah , dilanjutkan dengan proses
pernikahan yang merupakan salah satu inti dari semua proses dalam adat
pernikahan yaitu adanya tawar menawar tentang besaran uang pisuke (jaminan) yang akan dijadikan sebagai biaya dalam proses
pernikahan selanjutnya.
·
Penyerahan pisuke dalam hal ini pihk laki-laki dituntut untuk membayar
uang pisuke yang telah disepakati pada proses pernikahan sebelumnya yaitu pada
proses membait wali kepada pihak perempuan yang akan digunakan untuk biaya
proses pernikahan selanjutnya.
·
Mbait janji, perundingan antara pihak laki-laki dengan pihak
peempuan untu menentukan waktu pelaksanaan dari proses pernikahan selanjutnya,
yaitu ajikrama (sorong serah) yang merupakan puncak dari upacara adat pernikahan di
Lombok, dimana membelai wanita diserahkan oleh walinya kepada suaminya.
·
Ajikrama (sorong serah) symbol dari pemberian
dan penerimaan pengantin perempuan dalam sebuah pernikahan yang dilaksanakan di
kediaman wali dari pengantin perempuan dengan cara keluarga dari pengantin
laki-lakimendatangi kediaman tersebut.
·
Nyongkolan atau arak arakan pengantin yang diiringi oleh gendang belek (alat music tradisional
sasak yang diikuti oleh keluarga dan kerabat dari kedua pihak). Pengantin akan
diarak dari rumah pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan.
Tujuannya untuk mengumumkan kepada masyarakat sekitar bahwa mereka telah
melaksanakan pernikahan.
3.
Pisuke dalam adat pernikahan
1)
Sejarah
Adat Pisuke
Pemberlakuan proses adat pisuke
atau gentiran adalah dimana pada
dahulu kala ada dua orang laki-laki dan pemudi yang sedang berpacaran, kedua
keluarga dari pasangan ini termasuk dalam katagori keluarga yang berada.
Laki-laki tersebut ingin menikahi pasangannya, akan tetapi kedua orang tua
perempuan ini tidak menyetujui keinginan dari laki-laki tersebut. Hal ini
dikarenakan laki-laki tersebut dikenal memiliki sikap dan sifat yang tidak
disenangi oleh kedua orang tua dari perempun tersebut. Lai-laki ini sangat
ingin menikahi pasangannya hingga nekat untuk melamar perempuan tersebut
walaupun ia sudah mengetahui bahwa kedua orang tua dan perempuan tersebut tidak
menyetujui lamarannya. Karena tidak bias menolak untuk menikahkan anak
perempuannya dengan laki-laki tersebut, maka kedua orang tua dari perempuan ini
membuat inisiatif agar laki-laki tersebut membatalkan lamarannya, yaitu dengan
cara memberikan syarat-syarat yang dianggap sangat berat untuk memenuhi
syarat-syarat tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya sang laki-laki dapat
memenuhi semua persyaratan yang diajukan sehingga membuat hati orang tua
perempuan tersentuh dan dapat menerima sang laki-laki sebagai menantunya.
Pemberlakuan syarat-syarat tersebut diikuti oleh mayarakat lainnya sehingga
menjadi kebiasaan yang dilakuakn turun temurun di Lombok.
2)
Defiisi pisuke
Menurut bahasa “pisuke”
berarti pemmberian dari pihak laki-laki yang sesuai dengan kemampuannya yag
akan melangsungkan sebuah pernikahan. Sedangkan menurut istilah, pisuke berarti uang jaminan yang harus
dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dikarenakan telah
menikahi anak perempuan dari orang tuanya. Biaya pisuke ini digunakan sebagai
biaya proses pernikahan, seperti repsesi yang dilaksanakan di kediaman pihak
perempuan.
Tingginya biaya pisuke
biasanya disebabkan oleh banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh pihak keluarga
dalam membesarkan anaknya dengan kata lain sebagai ganti rugi atas biaya yang
dikeuarkan selama ini. Tingginya biaya pisuke inilah menyebabkan timbulnya
konflik seperti yang dijelaskan diatas.
3)
Proses
adat pisuke
Adat pisuke dilakukan setelah
proses adat mbait wali dimana pihak
laki-laki meminta wali dari pihak perempuan untuk menikahkan anak perempuannya.
Proses adat pisuke dibicarakan melalui
kepala dusun dari tempat kediaman pihak laki-laki ketempat kediaman pihak
perempuan. Proses ini diawali dengan pertemuan pihak laki-laki dengan kepala
dusunnya membahas tentang biaya pisuke. Kemudian, barulah menuju kepala dusun
pihak perempuan untuk meakukan tawa menawar. Hal ini dikarenakan keluarga dari
pihak laki-laki dan keluarga dari pihak perempuan tidak diizinkan untuk bertemu
hingga biaya pisuke dibayarkan. Pada saat kedua kepala dusun bertemua, kepala
dusun pihak perempuan memberitahukan besaran biaya pisuke yang harus dibayar
oleh pihak laki-laki yang sebelumnya sudah diberitahuakn oleh pihak perempuan.
Setelah itu, kepala dusun dari pihak laki-laki memberitahukan kepada pihak
laki-laki besaran pisuke yang harus dibayarnya. Setelah seminggu, piak
laki-laki memberitahukan ketidak sanggupannya atas biaya pisuke yang harus
dibayar melalui kepala dusunnya.
Kepala dusun dari pihak laki-laki akan menemui kepala dusun pihak
perempuan untuk melakukan penawaran. Setelah mendapatkan kesepakatan, pihak
laki-laki harus membayar secara tunai besaran pisuke yang telah disepakati.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
Pisuke
Menurut bahasa “pisuke” berarti pemmberian dari pihak
laki-laki yang sesuai dengan kemampuannya yang akan melangsungkan sebuah
pernikahan. Sedangkan menurut istilah, pisuke
berarti uang jaminan yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan dikarenakan telah menikahi anak perempuan dari orang tuanya. Biaya
pisuke ini digunakan sebagai biaya proses pernikahan, seperti repsesi yang
dilaksanakan di kediaman pihak perempuan. Ada juga yang menyamakan antara pisuke dan gantiran seprti dijelaskan bahwa nyerah gantiran atau pisuke
adalah menyerahkan bantuan kepada keluarga pengantin wanita. biasanya sekita
seminggu sebelum upacara adat dilaksanakan. pihak keluarga pria mengantarkan
bahan -bahan berupa sapi/kerbau, beras, kayu bakar, dan lain-lain.
Berdasarkan pengertian diatas dalam
penerapannya di tengah masyarakat sangat jauh dari pengertian dari pisuke itu
sendiri. Biaya pisuke ini seringkali
membebankan pihak laki-laki terlebih jika orang tua perempuan tidak menyukai
laki-laki yang akan menjadi calon menantunya. Pihak perempuan atau orang tua
perempuan seringkali meninggikan biaya pisake sering berakibat konflik terutama
pemutusan tali silaturahmi dan hubungan baik diantara keduanya.
3.2 Implementasi adat
pisuke dalam pernikahan di suku Sasak
Pelaksanan pisuke ditengah
masyarakat suku sasak sangat bertentangan dengan syarat kebiasaan itu sendiri
seperti harus diterima oleh akal dan sesuai dengan perasaan moral pada umumnya.
Dalam pelaksanaan pisuke yang sudah menjadi kebiasaan ini tidaklah sesuai
dengan ketentuan syara’.
Dalam pelaksanaannya pisuke di
suku sasak ini lebih banyak mendatagkan mudarat dari pada mendatangkan
kemaslahatan.
Sebagaimana pengertian yang telah disampaikan diatas seharusnya
pelaksanaan pisuke ini tidak bertetangan dengan pengertian dari pisuke itu
sendiri. Dimana seharusnya dalam pelaksanaannya pisuke ini harus melihat segi ekonomi atau kemampuan dari pihak
laki-laki sehingga tidak membebani pihak laki-laki yang ingin menikahi orang
yang ia cintai.
Walaupun biaya pisuke
merupakan hak mutlak dari orang tua pihak perempuan tak seharusnya orang tua
mengambil kesempatan untuk menarik biaya yang tinggi. Hal yang seperti ini
tentunya sering mendatangkan konflik baik bagi orangtua dan pihak wanita
ataupun dengan orang tua dengan pihak laki-laki dan keluarganya. Hal ini juga
dapat berdampak pada psikologis pihak yang akan menikah terutama pihak
perempuan.
Dalam pelaksanaan pisuke ini
seharusnya sesuai dengan pengertian pisuke
itu sendiri, diukur dari kemampuan pihak laki-laki.
3.3 Solusi terhadap permasalahan yang timbul dalam
pelaksanaan pisuke dalam masyarakat
suku Sasak.
Berdasarkan permasalahan yang timbul dari adat pisuke penulis menawarkan sebuah gagasan
untuk mengatasi dampak pelaksanaan pisuke yang ada di tengah masyarakat suku
sasak tampa harus menghilakan adat pisuke itu sendiri yang merupakan salah satu
dari keberagaman adat yang dimiiki suku sasak. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut perlu dimanfaatkan balai adat dalam perundingan mengenai biaya pisuke
dengan menghadirkan perwakilan atau wali dari kedua belah pihak dengan
disaksikan oleh para tetua adat, kepala adat atau lingkungan yang menjadi
penengah diantara kedua belah pihak.
Tetua adat, kepala adat atau lingkungan berasal dari
kedua belah pihak untuk mengindari ketidak adilan dalam pelaksanaan pisuke.
Awalnya tetua adat dan kepala adat atau kepala
lingkungan hanya berfungsi sebagai pengamat dalam proses tawar menawar, ketika
tawar menawar dalam pisuke tidak menemui titik temu barulah mereka melakukan
musyawarah mengambil jalan tengah yang dimana tidak memberatkan atau merugikan
kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak menimbulkan konflik. Selain
itu pelaksanaan seperti ini lebih efisien menghemat waktu dibandingkan dengan
melalui perentara kepala desa dan harus kembali ke masing-masing pihak sampai
mendapatkan kesepakatan.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dalam pelaksanaan pisuke
ditengah masyarakat suku sasak seringkali tidak sesuai dengan pengertian dari pisuke itu sendiri, terlebih lagi orang
tua dari pihak wanita memanfaatkan pisuke
dengan menerapkan biaya yang tinggi sehingga memberatkan pihak laki-laki dengan
dalih pisuke itu sebagai hak mutlak
dari orang tua pihak perempuan.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Jidaders Blog.
(2011, 29 Desember). Proses Perkawinan (Merariq)
Adat Sasak. Diperoleh pada 1 Januari 2017 di http://allaboutsasak.blogspot.co.id/2011/12/table-cell-table-cell-table-cell-table.html
Unila.Tinjauan
Pustaka.(2011). Diperoleh pada 1 Januari 2017 di http://digilib.unila.ac.id/9391/5/BAB%20II.pdf
Haryanti, sri Suci.
(2017) Pisuke dalam Adat Pernikahan Persfektif (study kasusu di di Desa Tanak
Beak Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat). Diperoleh
pada 1 Januari 2017 di http://etheses.uin-malang.ac.id/6920/1/13210072.pdf
makasih mimin infonya.. (y)
ReplyDelete