Tuesday, January 29, 2019

Makalah Hubungan Hukum Bank dengan Nasabah

Selamat malam guys....
Perkenalkan nama saya Devy Shandra
Disini saya mau share tentang hukum perbankan yang kebetulan di kasih tugas sama dosen nih, buat teman-teman yang agak  suasah buat nyari materi tentang hukum perbankan terutama yang materinya berkaitan dengan hubungan hukum antara bank dan nasabah, atau yang pengen tau gimana sih hubungan hukum antara nasabah dengan pihak bank, atau  bagaimana hukum melindungi nasabah atas penggunaan layanan elektronik banking (e-banking) dan bentuk pertanggungjawaban pihak bank jika terjadi wanprestasi.
 Disini saya nggak mau panjang lebar, teman-teman bisa langsung kepoin tentang bagaimana hubungan pihak bank dengan nasabah.



MAKALAH
HUBUNGAN HUKUM BANK DENGAN NASABAH

Oleh :
Nama :
Devy Shandra Purwati
NIM :
D1A016062
Kelas :
A
Matkul :
Hukum Perbankan
Dosen Pengampu :
Zuhairi


UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS HUKUM
MATARAM
2018

DAFTAR ISI






DAFTAR ISI

DAFTAR ISI  ...................................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 2
BAB II.PEMBAHASAN..................................................................................... 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 5
Kesimpulan................................................................................................ 5
Penutup..................................................................................................... 5
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 8






















BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Lembaga
Perbankan di Indonesia yang terus berkembang menjadikan perbankan sebagai komponen penting dalam perekonomian nasional saat ini, lembaga perbankan sudah dikenal di Indonesia sejak VOC mendirikan Bank Van Leening pada tahun 1746 yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank Van Leening pada tahun 1752 di Jawa yang merupakan bank pertama di Indonesia. Lembaga perbankan semakin mendapat kepercayaan masyarakat Indonesia hal ini terbukti dengan semakin tumbuh dan berkembangannya bank mulai dari jenis hingga bermacam-macam kegiatan operasional perbankan yang ditawarkan kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 2 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank:
       “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Kegiatan operasional bank tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang dikenal dalam dunia perbankan sebagai nasabah, nasabah sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 angka 16 UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dasar perikatan antara nasabah dan bank adalah rasa kepercayaan, yang mengharuskan bank agar dapat terus menjaga kepercayaan nasabah/masyarakat dalam setiap bentuk kegiatan operasionalnya, oleh karena itu kegiatan perbankan membutuhkan aturan hukum yang dapat menjaga hubungan bank dan nasabah, hukum perbankan yang berisi segala norma hukum yang berlaku dan mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan praktek perbankan yang diakui baik secara tertulis maupun yang tidak tertulis. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, terutama dalam Pasal 29 ayat (3) yang menekankan asas kepercayaan nasabah dan Pasal 29 ayat (2) yang menekankan prinsip kehati-hatian yang berlaku umum dalam usaha perbankan yang menjalankan kegiatan usahanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan hukum bank dengan nasabah
2.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah atas penggunaan layanan elektronik banking (e-banking) dan bentuk pertanggungjawaban pihak bank.

BAB II PEMBAHASAN
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak mengatur secara tegas perihal hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Akan tetapi dari beberapa ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah diatur oleh suatu “Perjanjian”. Hal ini dapat disimpulkan antara lain dari Pasal 1 ayat (5) UU No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi:
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan ‘perjanjian penyimpanan’ dan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau untuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.”
 Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa simpanan masyarakat yang ada di bank, dasarnya adalah ‘perjanjian’. Dari bunyi Pasal 1 ayat (5) di atas, maka simpanan masyarakat di bank dapat berupa:
1.      Giro; adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindah bukuan (Pasal 1 ayat (6).
2.       Deposito; adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. (Pasal 1 ayat (7).
3.       Sertifikat Deposito: adalah simpanan dalam bentuk deposito yangs ertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan (Pasal 1 ayat (8).
4.      Tabungan; adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakti, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan alat lainnya yang dapat dipersamakaan dengan itu. (Pasal 1 ayat (9).
5.      Penitipan; adalah penyimpan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak anatar Bank umum dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. (Pasal 1 ayat 14).
Dari ketentuan di atas, terlihat bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah diatur oleh ‘hukum perjanjian’. Hukum perjanjian memang merupakan suatu hal yang menjadi dasar apabila di antara dua orang akan melakukan hubungan dalam bidang hukum. Dalam hukum perjanjian diatur tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Dalam berbagai literatur tentang hukum perjanjian disebutkan bahwa Buku III KUHPdt menganut ‘sistem terbuka’, yang artinya bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa yang diinginkan oleh para pihak, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dari pengertian tentang sistem terbuka ini, maka hal-hal yang diatur dalam Buku III KUHPdt adalah sebagai hukum pelengkap. Karena ada beberapa hal yang diatur dalam ketentuan tersebut boleh dikesampingkan, apabila dikehendaki oleh para pihka yang membuat perjanjian tersebut. Artinya, mereka diperbolehkan untuk membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian, sepanjang hal tersebut tersebut tidak bertentang dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Ada hal yang perlu untuk disadari oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian atau kontrak yakni timbulnya akibat hukum yang ditimbulkan dengan ditandatanganinya suatu perjanjian atau kontrak. Akibat hukum tersebut yaitu bahwa dengan sendirinya perjanjian atau kontrak yang telah dibuat dan telah ditandatangani akan mengikat para pihak yang terlibat dalam perjanjian atau kontrak tersebut. Asas mengikat para pihak ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPdt yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Selain itu juga sahnya perjanjian terdapat pada pasal 320 KUHpdt dikenal dengan ‘Asas kesepakatan” atau sering juga disebut ‘asas konsensualisme’. Apabila dikaji secara lebih seksama, hakikat dari asas kebebasan berkontrak dan asas kesepakatan akan mempunyai makna bahwa ‘posisi tawar menawar para pihak berada dalam taraf sejajar, sehingga para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki oleh masing-masing pihak’. Bagaimana halnya dengan hubungan antara bank dengan nasabah dalam pembuatan suatu perjanjian antara bank dengan nasabah, sebab dalam praktik, pada umumnya bank telah membuat suatu formulir sendiri. Dan biasanya dalam pembuatan formulir tersebut, yang secara sepihak sudah dibuat oleh pihak bank, telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan sendiri oleh pihak bank. Sebenarnya, formulir yang dibuat dan disediakan oleh bank dan berisikan syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh pihak nasabah merupakan tindakan sepihak dari bank, sebab asas kesepakatan menghendaki bahwa dua belah pihak terjadi kesepakatan untuk mengadakan suatu perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak mengartikan bahwa dua belah pihak dapat menentukan bentuk hubungan hukum yang bagaimana dan juga bagaimana isi dari perjanjian yang akan mengatur hubungan kedua pihak tersebut. Pembuatan formulir secara sepihak oleh para ahli hukum disebut sebagai ‘perjanjian baku’, yaitu perjanjian yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis.Perjanjian baku (standar contract) adalah perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat telah dipersiapkan dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pemakainya dan mengikat pihak lain. Pihak lain tersebut tidak dapat mengubah atau melakukan tawar menawar untuk mengubahnya. Atau dengan kata lain, yang dibakukan disini adalah klausul klausulnya yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat perjanjian.Perjanjian baku ini yang dibuat oleh pihak bank sudah menyalahi asas yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang ‘sahnya suatu perjanjian’ dimana salah satu syaratnya menentukan bahwa harus ada kesepakatan antara dua belah pihak. Dengan telah dibuatnya ketentuan mengenai persyaratan-persyaratan perjanjian, yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank, karena hanya oleh pihak bank sendiri, padahal undang-undang sudah menentukan bahwa perjanjian atau persetujuan yang dibuat harus atas kesepakatan kedua pihak (Pasal 1320 KUHPdt) dan oleh karenanya akan mengikat bagi kedua pihak dan akan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua pihak dalam hal ini bank dengan nasabah (Pasal 1338 KUHPdt), maka hal ini telah bertentangan dengan asas yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPdt yaitu ‘asas kebebasan berkontrak’ dan asas yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPdt tentang ‘asas kesepakatan’. Perjanjian baku yang telah dibuat oleh pihak bank ini bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPdt dan Pasal 1320 KUHPdt, disamping juga bertentangan dengan kesusilaan. Dalam hal yang demikian, apabila dilihat dari sudut pandang kontrak standar, bagi nasabah hanya dihadapkan pada dua pilihan yakni menyetujui atau tidak menyetujui persyaratan yang sudah ditetapkan secara sepihak oleh pihak bank tersebut yang sudah dituangkan dalam kontrak tersebut. Tidak lagi ada kesetaraan diantara dua pihak yaitu antara bank dengan nasabah. Perjanjian baku ini didalam praktik perjanjian ada dan terus bertumbuh karena keadaan menghendakinya dan diterima sebagai kenyataan. Nieuwenhuis mengemukakan dua alasan mengapa ada perjanjian baku sebagai berikut:
1.      Ketentuan-ketentuan hukum pelengkap yang menurut sifatnya berlaku secara sangat umum, sehingag dibutuhkan pelengkap pada hukum pelengkap itu. Peranan ini diisi oleh perjanjian baku, jadi memerinci pelaksanaan lebih lanjut dari hukum pelengkap yang ada.
2.      Tidak hanya melengkapi tetapi juga menyimapng dari hukum pelengkap.
Pihak yang tidak senang terhadap syarat pernyataan lalai dapat membebaskan diri dari kewajiban itu dicantumkan dalam perjanjian baku. Dengan adanya perjanjian baku ini yang diterapkan oleh pihak bank, keadaan yang demikian, disinilah terlihat tidak berdayanya nasabah. Nasabah harus menerima keadaan yang ada, nasabah berada dalam kedudukan yang lemah secara yuridis dan berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan, karena tidak terlibat secara langsung dalam pembuatan kesepakatan perjanjian/persetujuan sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPdt dan Pasal 1320 KUHPdt. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa untuk menerima persyaratan-persyaratan perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dan disodorkan kepadanya. Jelas hal ini yaitu perjanjian baku yang sudah dibuat dan disediakan oleh bank sangat merugikan pihak nasabah, karena dari segi isi perjanjian jelas kepentingan pihak nasabah tidak dipikirkan oleh bank. Berdasarkan ‘perjanjian’ yang dibuat atau yang terjadi antara bank dengan nasabah, maka tentunya hal ini berarti para pihak dalam hal ini bank sebagai suatu badan usaha dan nasabah baik secara perorangan ataupun badan usaha mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam rangka terlaksananya perjanjian/persetujuan yang ada. Walaupun perjanjian yang dibuat tidaklah sesuai dengan keinginan dari nasabah, namun harus dilaksanakan karena nasabah berada dalam posisi yang lemah. Dalam hubungan bank dengan nasabah, bank mempunyai kewajiban untuk:
1.      Menjamin kerahasiaan identitas nasabah berserta dengan dana yang disimpan pada bank, kecuali kalau peraturan perundang-undangan menentukan lain;
2.       Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati;
3.       Membayar bunga simpanan sesuai perjanjian;
4.       Mengganti kedudukan debitor dalam hal nasabah tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada pihak ketiga;
5.      Melakukan pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas L/C, sepanjang persyaratan untuk itu telah dipenuhi;
6.      Memberikan laporan kepada nasabah terhadap perkembangan simpanan dananya di bank; dan 7. Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas.
Sebaliknya bank berhak untuk :
1.      Mendapatkan provid terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah;
2.      Menolak pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan yang telah disepakti bersama.
3.      Melelang agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan akad kredit yang telah ditandatangani kedua belah pihak;
4.      Pemutusan rekening nasabah (klausul ini cukup banyak ditemui dalam praktik); dan
5.       Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening;
Nasabah berkewajiban untuk:
1.      Mengisi dan menandatangi formulir yang telah disediakan oleh bank, sesuai dengan layanan jasa yang diinginkan oleh calon nasabah;
2.      Melengkapi persyaratan yang ditentukan oleh bank;
3.      Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank. Dalam hal ini, dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis layanan jasa yang diinginkan;
4.      Membayar provinsi yang ditentukan oleh bank; dan
5.      Menyerahkan buku cek/giro bilyet tabungan.
Nasabah berhak untuk:
1.      Mendapatkan layanan jasa yang diberikan oleh bank, seperti fasilitas kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
2.      Nasabah berhak untuk mengetahui secara terperinci tentang produk-produk perbankan yang ditawarkan;
3.      . Mendapatkan laporan atas transaksi yang dilakukan melalui bank;
4.      Menuntut bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia nasabah;
5.      Nasabah berhak mendapat bunga atas produk tabungan dan deposito yang telah diperjanjikan terlebih dahulu;
6.      Mendapatkan agunan kembali, bila kredit yang dipinjam telah lunas; dan
7.      Mendapat sisa uang pelelangan dalam hal agunan dijual untuk melunasi kredit yang tidak terbayar.
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, artinya bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat (para penanam dana). Pasal 1 angka 17 UU No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘nasabah penyimpan’ adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan, seperti deposito, tabungan, giro dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dapat tertuang dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat umum yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana. Syarat-syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat dari suatu produk perbankan tidak akan sama dengan syarat dari produk perbankan yang lain. Sedangkan pertanggungjawaban bank apabila nasabah mengalami kerugian adalah dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, untuk menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan nasabah dilakukan dengan standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Risiko yang terdapat dalam perjanjian kredit bank dapat dilihat dari dua sisi yaitu risiko yang ditanggung oleh bank sebagai kreditur dan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa Credit Risk Strategic Risk, Regulatory Risk Operating Risk, Commodity Risk, Human Resources Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur antara lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari perjanjian kredit bank yang baku (standar). Sementara perlindungan hukum  terhadap nasabah yang menggunakan layanan elektronik baking sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” sesuai dengan amanat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menjaga keamanan serta pelayanan yang terbaik kepada nasabah maka pihak bank yang pertama, ganti rugi kepada Nasabah atas kerugian dan kealpaan yang dilakukan oleh pihak Bank dengan terlebih dahulu menindak lanjuti atas keluhan Nasabah atas kerugian yang di deritanya, dan apabila terbukti benar maka pihak Bank akan memenuhi pembayaran ganti rugi atas kerugian yang diakibatkan oleh Bank. Yang kedua, jika terbukti adanya keterlibatan pihak Bank atau oknum karyawan yang lalai yang mengakibatkan kerugian di pihak Bank, maka Bank berdasarkan kode etik memberikan tindakan atas kelalaian Karyawan tersebut yang mengakibatkan kerugian di pihak nasabah. Yang ketiga, apabila pihak Bank tidak mampu untuk memenuhi apa yang menjadi tanggung jawabnya atas kelalaian bank, maka atas ketidakmampuan Bank atas tanggung jawabnya maka Bank akan menerima sanksi atau konsekuensi atas reputasi dan kredibilitas Bank dalam tanggung jawabnya melindungi nasabah.


BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan hukum antara bank dan nasabah diatur oleh suatu peranjian dan didsari oleh dua unsure yaitu hukum dan kepercayaan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dijelaskan secara umum . Sementara itu, perlindungan terhadap nasabah yang menggunakan layanan elektronik baking diatur pula dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” .
Saran
1.      Hubungan hukum bank dengan nasabah yang bersifat hubungan hukum non kotraktual yang berdasarkan pada kepercayaan belaka harus diatur dengan jelas agar pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum tersebut merasa aman dan mendapatkan perlindungan secara hukum.
2.      Bagi calon nasabah debitur sebelum menandatangani isi perjanjian kredit bank sebaiknya mempelajari isi perjanjian dan jika perlu berkonsultasi terlebih dahulu kepada seorang konsultan hukum yang menguasai bidang perkreditan.
3.      Setiap lembaga perbankan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan kepastian hukum bagi nasabah, dan juga bekerjasama dengan lembaga perlindungan konsumen dan Bank Indonesia untuk terus menciptakan aturan yang dapat memenuhi kebutuhan keamanan guna kepastian hukum nasabah.

















DAFTAR PUSTAKA

Takasenseran, M. P. (2016). PERJANJIAN ANTARA BANK DAN NASABAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998. LEX ET SOCIETATIS4(7).
Quila, Indah. (2015, Maret). MAKALAH PERLINDUNGAN NASABAH. Diperoleh pada 16 April 2018 di http://indahaquilla.blogspot.co.id/2015/03/makalah-perlindungan-nasabah.html
Hamin, M. W. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank terhadap Risiko dalam Perjanjian Kredit Bank. Lex Crimen6(1).
SYAH, I. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Atas Penggunaan Layanan Elektronik Banking (E-banking) Pada Bank Rakyat Indonesia (Riset Pada Bank Rakyat Indonesia Unit Melati). Civil Law2.




Berikut Link untuk download 


Semoga makalah ini bisa membantu teman- teman


Thursday, January 24, 2019

MAKALAH ADAT PISUKE DALAM PERNIKAHAN SUKU SASAK

Hay guys....
Berbicara tentang adat dan istiadat Indonesia kaya banget nih sama keragaman budanya dimana kebudayaan ini menjadikan Indonesia kaya juga dengan adat istiadat. Nah, pasti di daerah teman-teman adatnya beda-beda kan. sama juga dengan di daerahku. dikit informasi ya teman-teman, kalau saya ini orang lombok, ya suku sasak gitu. tau nggak kalau di suku sasak itu di setiap desa itu adatnya beda-beda apalagi hukum adatnya, kalau disini hukum adat itu disebut dengan awik-awik.

Pasti teman-teman nggak asing kan dengan adat di lombok atau suku sasak tentang pernikahannya yang disebut dengan "melaik dan merarik". nah disini di dalam makalah yang saya buat ini saya  mau share tentang adat pernikahan di suku sasak.
Oke langsung saja, teman -teman bisa baca atau download link dibawah.




MAKALAH
ADAT PISUKE DALAM PERNIKAHAN SUKU SASAK



DI SUSUN OLEH :
NAMA  :
Devy Shandra Purwati
NIM      :
D1A016062
KELAS :
A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2018


KATA PENGANTAR

          Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Adat Pisuke dalam Pernikahan Suku Sasak”. Penyusunan makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas hukum adat. Selain itu juga tujuan dari penyusunan karya tulis ini juga untuk menambah wawasan tentang system pernikahan di Lombok.
          Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi saya sendiri dan orang-orang yang membaca makalah ini.
           Akhir kata saya menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf apabila makalah ini jauh dari kata sempurna, dan saya mengucapkan banyak terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca.


Mataram, 02 Januari 2017
Hormat saya


(Devy Shandra Purwati)





DAFTAR ISI




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Di dalam suatu pernikahan mahar merupakan suatu kewajiban yang harus diserahkan oleh membelai laki-laki kepada membelai wanita. Secara terminologi menurut Taqiyuddin Abu Bakar mahar adalah harta yang diberikan kepada perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau bersetubuh. Sedangkan dalam adat suku sasak seorang laki-laki juga diharuskan untuk membayar uang pisuke (jaminan) sehingga pernikahan tersebut dikataan sah menurut hukum adat. Pisuke merupakan salah satu proses dalam pernikahan pada suku sasak. Adat pisuke terkandung dalam membait wali yaitu penjemputan wali dari perempuan untuk menikahkan anaknya, sekaligus membicarakan harga mahar dan tawar menawar tentang seberapa besaran pisuke yang akan diberikan oleh membelai laki-laki. Proses pisuke ini menjadi penentu apakah pernikahan akan dilanjutkan atau tidak, serta uang pisuke digunakan sebagai biaya dalam proses pernikahan.
Secara istilah pisuke adalah uang jaminan yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan karena telah membawa lari putrinya, uang pisuke berfungsi sebagai uang pengganti lelah atau jasa bagi wali perempuan yang telah membesarkan anak perempuannya. Bentuk pisuke dalam pernikahan adat masyarakat suku sasak tidak hanya berbentu barang melainkan juga dapat berbentuk uang.
Dalam pelaksanaannya pisuke tidak jarang para wali dari pihak perempuan menentukan harga biaya pisuke yang sangat tinggi tampa mempertimbangkan kemampuan dari pihak laki-laki. Hal ini disebabkan menurut wali dari perempuan  biaya yang telah mereka keluarkan untuk membasarkan anaknya sangatlah besarkan sehingga harus sebanding dengan biaya pisuke itu sendiri. Tentunya hal ini sangat memberatkan pihak laki-laki dan berakibat dalam proses pernikahan yang berlarut-larut karena belum terjadinya kesepakatan.
Jika diperhatikan secara mendalam pelaksanaan pisuke seperti di atas lebih banyak mendatangkan mudarat dari pada kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Bagi pihak laki-laki memberatkan dalam urusan pembiayaan serta dapat memutuskan tali silaturahmi dari calon atau mertuanya. Sedangkan dari pihak perempuan juga dapat memutuskan tali silaturahmi dengan orang tuanya karena mempersulit pasangannya.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pisuke?
2.      Bagaimana implementasi adat pisuke dalam pernikahan di suku Sasak?
3.      Bagaimana mengatasi permasalahan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan pisuke yang diterapkan oleh orang tua membelai wanita?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pisuke
2.      Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pisuke dalam pernikahan di suku sasak
3.      Memberikan solusi terhadap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pisuke dalam masyarakat suku Sasak
1.4  Manfaat
1.      Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai pisuke yang ada dalam adat sasak.
2.      Membantu dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dalam perkawinan yang menyangkut proses pisuke melalui tulisan.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Penelitian terdahulu
Penulusuran penulis terhadap penelitian terdahulu yaitu dari hasil skripsi yang dilakukan oleh Sri Suci Haryanti yang berjudul ”Pisuke dalam Pernikahan Perspektif Maslahah Mursalah” (Study di Desa Tanak Beak Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat). Penelitian ini berfokus pada banyaknya kemudaratan yang dihasilkan dari pisuke dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat suku Sasak.
B. Kerangka konseptual dan teori
1. Pengertian Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Pengertian perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di nyatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Pengetian perkawinan menurut hukum adat
Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia umumnya bukan saja sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa pada hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan dalam arti “perikatan adat‟ ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukumnya telah ada sebelum perkawinan terjadi misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan „rasan sanak (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan „rasan tuha‟ (hubungan keluarga dari calon suami istri). Perkawinan dapat dibentuk dan bersistem antara lain:
1. Perkawianan jujur yaitu pelamaran di lakukan oleh pihak pria terhadap pihak wanita dan kemudian setelah perkawinan istri mengikuti kedudukan dan kediaman suami. 
2. Perkawinan semanda yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak wanita  terhadap laki-laki dan setelah perkawinan suami mengikuti kedudukan dan kediaman istri. 
3. Perkawinan “perda cocok‟ yaitu pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap wanita dan kemudian setelah perkawinan kedua suami-istri bebas menentukan kediaman mereka, yang terahir ini banyak berlaku dikalangan keluarga yang telah maju (modern).
c. Pengertian perkawinan menurut hukum Islam
Istilah yang digunakan dalam bahasa arab pada istilah-istilah fikih tentang perkawinan munakahat/nikah, sedangkan dalam bahasa arab pada perundang undangan tentang perkawinan yaitu ahkam Al-Zawaj atau ahkam izwaj. Perkawinan adalah akad atau persetujuan antara calon suami dan calon istri karenanya berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah terima. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah tangga,maka hendaknya keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu2. Perkawian merupakan perikatan antara wali perempuan (calon istri) dengan suami perempuan itu, bukan hanya perikantan anatara seorang perian dan wanita saja seperti yang di sebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.Proses pernikahan dalam hukum adat
Merariq atau kawin lari adalah suatu proses adat dalam pernikahan yang masih diterapkan oleh masyarakat Lombok. Istilah merariq berasal dari kata yang dalam bahasa sasak “berari” dan mengandung dua arti , pertama adalah “lari” (lari dalam arti sebenarnya), dan yang kedua adalah teknik atau symbol untuk membebaskan seorang perempuan dari ikatan orang tuanya serta keluarganya. Proses merariq ini adalah tindakan awal seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan tampa adanya persetujuan dari perempuan yang akan dilarikan. Setelah perempuan tersebut berhasil dibebaskan dari ikatan kedua orang tuanya, lalu akan disembunyikan di bale penyeboqan (rumah persempunyian) yang biasanya merupakan rumah keluarga atau kerabat dari pihk laki-laki.
Proses pernikahan dalam adat sasak adalah sebagai berikut :
·         Midang (apel) seorang laki-laki berkunjung kerumah kekasihnya dalam rangka agar lebih dekat dengan perempuannya maupun wali dari perempuan tersebut. Hal ini merupakan proses awal seorang laki-laki merencankaan merariq tersebut.
·         Merariq (berlari) adalah sebuah symbol atau teknik untuk membebaskan seorang perempuan dari kekuasaan walinya atau keluarganya yaitu dengan cara membawa lari perempuan tersebut dan akan disembunyikan di bale penyeboqan (rumah persembunyian).
·         Selebar dan Mesejati, dimana pihak laki-laki melaporkan kepada kepala dusun tempat perempuan yang dibawa lari berdomisili beserta menggambarkan keluarga dari pihak perempuan tersebut bahwa anaknya telah dilarikan (merariq) sekaligus untuk menjemput wali dari perempuan tersebut untuk menikahkan anaknya.
·         Mbait wali adalah dimana pihak laki-laki meminta kedua orang tua dari pengantin perempuan untuk menikahkan anaknya sebagaimana akad dalam hukum islam, dan setelah berlangsungnya akad nikah , dilanjutkan dengan proses pernikahan yang merupakan salah satu inti dari semua proses dalam adat pernikahan yaitu adanya tawar menawar tentang besaran uang pisuke (jaminan) yang akan dijadikan sebagai biaya dalam proses pernikahan selanjutnya.
·         Penyerahan pisuke dalam hal ini pihk laki-laki dituntut untuk membayar uang pisuke yang telah disepakati pada proses pernikahan sebelumnya yaitu pada proses membait wali kepada pihak perempuan yang akan digunakan untuk biaya proses pernikahan selanjutnya.
·         Mbait janji, perundingan antara pihak laki-laki dengan pihak peempuan untu menentukan waktu pelaksanaan dari proses pernikahan selanjutnya, yaitu ajikrama (sorong serah) yang merupakan puncak dari upacara adat pernikahan di Lombok, dimana membelai wanita diserahkan oleh walinya kepada suaminya.
·         Ajikrama (sorong serah) symbol dari pemberian dan penerimaan pengantin perempuan dalam sebuah pernikahan yang dilaksanakan di kediaman wali dari pengantin perempuan dengan cara keluarga dari pengantin laki-lakimendatangi kediaman tersebut.
·         Nyongkolan atau arak arakan pengantin yang diiringi oleh gendang belek (alat music tradisional sasak yang diikuti oleh keluarga dan kerabat dari kedua pihak). Pengantin akan diarak dari rumah pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan. Tujuannya untuk mengumumkan kepada masyarakat sekitar bahwa mereka telah melaksanakan pernikahan.
3.      Pisuke dalam adat pernikahan
1)      Sejarah Adat Pisuke
Pemberlakuan proses adat pisuke atau gentiran adalah dimana pada dahulu kala ada dua orang laki-laki dan pemudi yang sedang berpacaran, kedua keluarga dari pasangan ini termasuk dalam katagori keluarga yang berada. Laki-laki tersebut ingin menikahi pasangannya, akan tetapi kedua orang tua perempuan ini tidak menyetujui keinginan dari laki-laki tersebut. Hal ini dikarenakan laki-laki tersebut dikenal memiliki sikap dan sifat yang tidak disenangi oleh kedua orang tua dari perempun tersebut. Lai-laki ini sangat ingin menikahi pasangannya hingga nekat untuk melamar perempuan tersebut walaupun ia sudah mengetahui bahwa kedua orang tua dan perempuan tersebut tidak menyetujui lamarannya. Karena tidak bias menolak untuk menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki tersebut, maka kedua orang tua dari perempuan ini membuat inisiatif agar laki-laki tersebut membatalkan lamarannya, yaitu dengan cara memberikan syarat-syarat yang dianggap sangat berat untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya sang laki-laki dapat memenuhi semua persyaratan yang diajukan sehingga membuat hati orang tua perempuan tersentuh dan dapat menerima sang laki-laki sebagai menantunya. Pemberlakuan syarat-syarat tersebut diikuti oleh mayarakat lainnya sehingga menjadi kebiasaan yang dilakuakn turun temurun di Lombok.
2)       Defiisi pisuke
Menurut bahasa “pisuke” berarti pemmberian dari pihak laki-laki yang sesuai dengan kemampuannya yag akan melangsungkan sebuah pernikahan. Sedangkan menurut istilah, pisuke berarti uang jaminan yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dikarenakan telah menikahi anak perempuan dari orang tuanya. Biaya pisuke ini digunakan sebagai biaya proses pernikahan, seperti repsesi yang dilaksanakan di kediaman pihak perempuan.
Tingginya biaya pisuke biasanya disebabkan oleh banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh pihak keluarga dalam membesarkan anaknya dengan kata lain sebagai ganti rugi atas biaya yang dikeuarkan selama ini. Tingginya biaya pisuke inilah menyebabkan timbulnya konflik seperti yang dijelaskan diatas.
3)      Proses adat pisuke
Adat pisuke dilakukan setelah proses adat mbait wali dimana pihak laki-laki meminta wali dari pihak perempuan untuk menikahkan anak perempuannya. Proses adat pisuke dibicarakan melalui kepala dusun dari tempat kediaman pihak laki-laki ketempat kediaman pihak perempuan. Proses ini diawali dengan pertemuan pihak laki-laki dengan kepala dusunnya membahas tentang biaya pisuke. Kemudian, barulah menuju kepala dusun pihak perempuan untuk meakukan tawa menawar. Hal ini dikarenakan keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga dari pihak perempuan tidak diizinkan untuk bertemu hingga biaya pisuke dibayarkan. Pada saat kedua kepala dusun bertemua, kepala dusun pihak perempuan memberitahukan besaran biaya pisuke yang harus dibayar oleh pihak laki-laki yang sebelumnya sudah diberitahuakn oleh pihak perempuan. Setelah itu, kepala dusun dari pihak laki-laki memberitahukan kepada pihak laki-laki besaran pisuke yang harus dibayarnya. Setelah seminggu, piak laki-laki memberitahukan ketidak sanggupannya atas biaya pisuke yang harus dibayar melalui kepala dusunnya.
Kepala dusun dari pihak laki-laki akan menemui kepala dusun pihak perempuan untuk melakukan penawaran. Setelah mendapatkan kesepakatan, pihak laki-laki harus membayar secara tunai besaran pisuke yang telah disepakati.

BAB III
 PEMBAHASAN
3.1  Pengertian Pisuke
Menurut bahasa “pisuke” berarti pemmberian dari pihak laki-laki yang sesuai dengan kemampuannya yang akan melangsungkan sebuah pernikahan. Sedangkan menurut istilah, pisuke berarti uang jaminan yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dikarenakan telah menikahi anak perempuan dari orang tuanya. Biaya pisuke ini digunakan sebagai biaya proses pernikahan, seperti repsesi yang dilaksanakan di kediaman pihak perempuan. Ada juga yang menyamakan antara pisuke dan gantiran seprti dijelaskan bahwa nyerah gantiran atau pisuke adalah menyerahkan bantuan kepada keluarga pengantin wanita. biasanya sekita seminggu sebelum upacara adat dilaksanakan. pihak keluarga pria mengantarkan bahan -bahan berupa sapi/kerbau, beras, kayu bakar, dan lain-lain.
            Berdasarkan pengertian diatas dalam penerapannya di tengah masyarakat sangat jauh dari pengertian dari pisuke itu sendiri. Biaya pisuke ini seringkali membebankan pihak laki-laki terlebih jika orang tua perempuan tidak menyukai laki-laki yang akan menjadi calon menantunya. Pihak perempuan atau orang tua perempuan seringkali meninggikan biaya pisake sering berakibat konflik terutama pemutusan tali silaturahmi dan hubungan baik diantara keduanya.
3.2  Implementasi adat pisuke dalam pernikahan di suku Sasak
Pelaksanan pisuke ditengah masyarakat suku sasak sangat bertentangan dengan syarat kebiasaan itu sendiri seperti harus diterima oleh akal dan sesuai dengan perasaan moral pada umumnya. Dalam pelaksanaan pisuke yang sudah menjadi kebiasaan ini tidaklah sesuai dengan ketentuan syara’.
Dalam pelaksanaannya pisuke di suku sasak ini lebih banyak mendatagkan mudarat dari pada mendatangkan kemaslahatan.
Sebagaimana pengertian yang telah disampaikan diatas seharusnya pelaksanaan pisuke ini tidak bertetangan dengan pengertian dari pisuke itu sendiri. Dimana seharusnya dalam pelaksanaannya pisuke ini harus melihat segi ekonomi atau kemampuan dari pihak laki-laki sehingga tidak membebani pihak laki-laki yang ingin menikahi orang yang ia cintai.
Walaupun biaya pisuke merupakan hak mutlak dari orang tua pihak perempuan tak seharusnya orang tua mengambil kesempatan untuk menarik biaya yang tinggi. Hal yang seperti ini tentunya sering mendatangkan konflik baik bagi orangtua dan pihak wanita ataupun dengan orang tua dengan pihak laki-laki dan keluarganya. Hal ini juga dapat berdampak pada psikologis pihak yang akan menikah terutama pihak perempuan.
Dalam pelaksanaan pisuke ini seharusnya sesuai dengan pengertian pisuke itu sendiri, diukur dari kemampuan pihak laki-laki.
3.3  Solusi terhadap permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pisuke dalam masyarakat suku Sasak.
Berdasarkan permasalahan yang timbul dari adat pisuke penulis menawarkan sebuah gagasan untuk mengatasi dampak pelaksanaan pisuke yang ada di tengah masyarakat suku sasak tampa harus menghilakan adat pisuke itu sendiri yang merupakan salah satu dari keberagaman adat yang dimiiki suku sasak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dimanfaatkan balai adat dalam perundingan mengenai biaya pisuke dengan menghadirkan perwakilan atau wali dari kedua belah pihak dengan disaksikan oleh para tetua adat, kepala adat atau lingkungan yang menjadi penengah diantara kedua belah pihak.
Tetua adat, kepala adat atau lingkungan berasal dari kedua belah pihak untuk mengindari ketidak adilan dalam pelaksanaan pisuke.
Awalnya tetua adat dan kepala adat atau kepala lingkungan hanya berfungsi sebagai pengamat dalam proses tawar menawar, ketika tawar menawar dalam pisuke tidak menemui titik temu barulah mereka melakukan musyawarah mengambil jalan tengah yang dimana tidak memberatkan atau merugikan kedua belah pihak, sehingga kedua belah pihak tidak menimbulkan konflik. Selain itu pelaksanaan seperti ini lebih efisien menghemat waktu dibandingkan dengan melalui perentara kepala desa dan harus kembali ke masing-masing pihak sampai mendapatkan kesepakatan.












BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dalam pelaksanaan pisuke ditengah masyarakat suku sasak seringkali tidak sesuai dengan pengertian dari pisuke itu sendiri, terlebih lagi orang tua dari pihak wanita memanfaatkan pisuke dengan menerapkan biaya yang tinggi sehingga memberatkan pihak laki-laki dengan dalih pisuke itu sebagai hak mutlak dari orang tua pihak perempuan.

















BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Unila.Tinjauan Pustaka.(2011). Diperoleh pada 1 Januari 2017 di http://digilib.unila.ac.id/9391/5/BAB%20II.pdf
Haryanti, sri Suci. (2017) Pisuke dalam Adat Pernikahan Persfektif (study kasusu di di Desa Tanak Beak Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat). Diperoleh pada 1 Januari 2017 di http://etheses.uin-malang.ac.id/6920/1/13210072.pdf




QS. AL FATIR AYAT 32 PEMBAHASAN DAN HUKUM TAJWIDNYA

QS. AL-FATIR AYAT 32     ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِم...