Perkenalkan nama saya Devy Shandra
Disini saya mau share tentang hukum perbankan yang kebetulan di kasih tugas sama dosen nih, buat teman-teman yang agak suasah buat nyari materi tentang hukum perbankan terutama yang materinya berkaitan dengan hubungan hukum antara bank dan nasabah, atau yang pengen tau gimana sih hubungan hukum antara nasabah dengan pihak bank, atau bagaimana hukum melindungi nasabah atas penggunaan layanan elektronik banking (e-banking) dan bentuk pertanggungjawaban pihak bank jika terjadi wanprestasi.
Disini saya nggak mau panjang lebar, teman-teman bisa langsung kepoin tentang bagaimana hubungan pihak bank dengan nasabah.
MAKALAH
HUBUNGAN
HUKUM BANK DENGAN NASABAH
Oleh
:
Nama :
|
Devy Shandra Purwati
|
NIM :
|
D1A016062
|
Kelas :
|
A
|
Matkul :
|
Hukum Perbankan
|
Dosen Pengampu :
|
Zuhairi
|
UNIVERSITAS
MATARAM
FAKULTAS
HUKUM
MATARAM
2018
DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 2
BAB II.PEMBAHASAN..................................................................................... 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 5
Kesimpulan................................................................................................ 5
Penutup..................................................................................................... 5
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 8
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Lembaga
Perbankan
di Indonesia yang terus berkembang menjadikan perbankan sebagai komponen
penting dalam perekonomian nasional saat ini, lembaga perbankan sudah dikenal
di Indonesia sejak VOC mendirikan Bank Van Leening pada tahun 1746 yang
kemudian menjadi De Bank Courant en Bank Van Leening pada tahun 1752 di Jawa
yang merupakan bank pertama di Indonesia. Lembaga perbankan semakin mendapat
kepercayaan masyarakat Indonesia hal ini terbukti dengan semakin tumbuh dan
berkembangannya bank mulai dari jenis hingga bermacam-macam kegiatan
operasional perbankan yang ditawarkan kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 2 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.”
Kegiatan
operasional bank tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang dikenal dalam
dunia perbankan sebagai nasabah, nasabah sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1
angka 16 UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Bank merupakan salah satu
lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat. Dasar perikatan antara nasabah dan bank adalah rasa kepercayaan,
yang mengharuskan bank agar dapat terus menjaga kepercayaan nasabah/masyarakat
dalam setiap bentuk kegiatan operasionalnya, oleh karena itu kegiatan perbankan
membutuhkan aturan hukum yang dapat menjaga hubungan bank dan nasabah, hukum
perbankan yang berisi segala norma hukum yang berlaku dan mengikat dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan praktek perbankan yang diakui baik secara
tertulis maupun yang tidak tertulis. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UU
No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
terutama dalam Pasal 29 ayat (3) yang menekankan asas kepercayaan nasabah dan
Pasal 29 ayat (2) yang menekankan prinsip kehati-hatian yang berlaku umum dalam
usaha perbankan yang menjalankan kegiatan usahanya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
hubungan hukum bank dengan nasabah
2. Bagaimana
perlindungan hukum terhadap nasabah atas penggunaan layanan elektronik banking
(e-banking) dan bentuk pertanggungjawaban pihak bank.
BAB II PEMBAHASAN
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, tidak mengatur secara tegas perihal hubungan hukum antara
bank dengan nasabah. Akan tetapi dari beberapa ketentuan dalam UU No. 10 Tahun
1998 dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah diatur
oleh suatu “Perjanjian”. Hal ini dapat disimpulkan antara lain dari Pasal 1
ayat (5) UU No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi:
“Simpanan
adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
‘perjanjian penyimpanan’ dan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,
tabungan dan atau untuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.”
Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa
simpanan masyarakat yang ada di bank, dasarnya adalah ‘perjanjian’. Dari bunyi
Pasal 1 ayat (5) di atas, maka simpanan masyarakat di bank dapat berupa:
1.
Giro; adalah simpanan yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana
perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindah bukuan (Pasal 1 ayat (6).
2.
Deposito; adalah simpanan yang penarikannya
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, berdasarkan perjanjian nasabah
penyimpan dengan bank. (Pasal 1 ayat (7).
3.
Sertifikat Deposito: adalah simpanan dalam
bentuk deposito yangs ertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan
(Pasal 1 ayat (8).
4.
Tabungan; adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakti,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan alat lainnya yang dapat
dipersamakaan dengan itu. (Pasal 1 ayat (9).
5.
Penitipan; adalah penyimpan harta
berdasarkan perjanjian atau kontrak anatar Bank umum dengan penitip, dengan
ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas
harta tersebut. (Pasal 1 ayat 14).
Dari
ketentuan di atas, terlihat bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah
diatur oleh ‘hukum perjanjian’. Hukum perjanjian memang merupakan suatu hal
yang menjadi dasar apabila di antara dua orang akan melakukan hubungan dalam
bidang hukum. Dalam hukum perjanjian diatur tentang apa yang menjadi hak dan
kewajiban dari kedua belah pihak. Dalam berbagai literatur tentang hukum
perjanjian disebutkan bahwa Buku III KUHPdt menganut ‘sistem terbuka’, yang
artinya bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa yang diinginkan oleh para
pihak, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dari pengertian tentang
sistem terbuka ini, maka hal-hal yang diatur dalam Buku III KUHPdt adalah
sebagai hukum pelengkap. Karena ada beberapa hal yang diatur dalam ketentuan
tersebut boleh dikesampingkan, apabila dikehendaki oleh para pihka yang membuat
perjanjian tersebut. Artinya, mereka diperbolehkan untuk membuat ketentuan
sendiri yang menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian,
sepanjang hal tersebut tersebut tidak bertentang dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Ada hal yang perlu untuk disadari oleh para
pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian atau kontrak yakni timbulnya akibat
hukum yang ditimbulkan dengan ditandatanganinya suatu perjanjian atau kontrak.
Akibat hukum tersebut yaitu bahwa dengan sendirinya perjanjian atau kontrak yang
telah dibuat dan telah ditandatangani akan mengikat para pihak yang terlibat
dalam perjanjian atau kontrak tersebut. Asas mengikat para pihak ini terdapat
dalam Pasal 1338 KUHPdt yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Selain
itu juga sahnya perjanjian terdapat pada pasal 320 KUHpdt dikenal dengan ‘Asas
kesepakatan” atau sering juga disebut ‘asas konsensualisme’. Apabila dikaji
secara lebih seksama, hakikat dari asas kebebasan berkontrak dan asas
kesepakatan akan mempunyai makna bahwa ‘posisi tawar menawar para pihak berada
dalam taraf sejajar, sehingga para pihak dapat saling mengemukakan apa yang
dikehendaki oleh masing-masing pihak’. Bagaimana halnya dengan hubungan antara
bank dengan nasabah dalam pembuatan suatu perjanjian antara bank dengan
nasabah, sebab dalam praktik, pada umumnya bank telah membuat suatu formulir
sendiri. Dan biasanya dalam pembuatan formulir tersebut, yang secara sepihak
sudah dibuat oleh pihak bank, telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang
sudah ditentukan sendiri oleh pihak bank. Sebenarnya, formulir yang dibuat dan
disediakan oleh bank dan berisikan syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh pihak
nasabah merupakan tindakan sepihak dari bank, sebab asas kesepakatan
menghendaki bahwa dua belah pihak terjadi kesepakatan untuk mengadakan suatu
perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak mengartikan bahwa dua belah pihak
dapat menentukan bentuk hubungan hukum yang bagaimana dan juga bagaimana isi
dari perjanjian yang akan mengatur hubungan kedua pihak tersebut. Pembuatan formulir
secara sepihak oleh para ahli hukum disebut sebagai ‘perjanjian baku’, yaitu
perjanjian yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir.Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh
perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan
semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan
praktis.Perjanjian baku (standar contract) adalah perjanjian yang ketentuan dan
syarat-syarat telah dipersiapkan dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pemakainya dan mengikat pihak lain. Pihak lain tersebut tidak dapat
mengubah atau melakukan tawar menawar untuk mengubahnya. Atau dengan kata lain,
yang dibakukan disini adalah klausul klausulnya yang merupakan ketentuan dan
syarat-syarat perjanjian.Perjanjian baku ini yang dibuat oleh pihak bank sudah
menyalahi asas yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang ‘sahnya suatu
perjanjian’ dimana salah satu syaratnya menentukan bahwa harus ada kesepakatan
antara dua belah pihak. Dengan telah dibuatnya ketentuan mengenai
persyaratan-persyaratan perjanjian, yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank,
karena hanya oleh pihak bank sendiri, padahal undang-undang sudah menentukan
bahwa perjanjian atau persetujuan yang dibuat harus atas kesepakatan kedua
pihak (Pasal 1320 KUHPdt) dan oleh karenanya akan mengikat bagi kedua pihak dan
akan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua pihak dalam hal ini bank dengan
nasabah (Pasal 1338 KUHPdt), maka hal ini telah bertentangan dengan asas yang
tertuang dalam Pasal 1338 KUHPdt yaitu ‘asas kebebasan berkontrak’ dan asas
yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPdt tentang ‘asas kesepakatan’. Perjanjian
baku yang telah dibuat oleh pihak bank ini bertentangan dengan Pasal 1338
KUHPdt dan Pasal 1320 KUHPdt, disamping juga bertentangan dengan kesusilaan.
Dalam hal yang demikian, apabila dilihat dari sudut pandang kontrak standar,
bagi nasabah hanya dihadapkan pada dua pilihan yakni menyetujui atau tidak
menyetujui persyaratan yang sudah ditetapkan secara sepihak oleh pihak bank
tersebut yang sudah dituangkan dalam kontrak tersebut. Tidak lagi ada
kesetaraan diantara dua pihak yaitu antara bank dengan nasabah. Perjanjian baku
ini didalam praktik perjanjian ada dan terus bertumbuh karena keadaan
menghendakinya dan diterima sebagai kenyataan. Nieuwenhuis mengemukakan dua
alasan mengapa ada perjanjian baku sebagai berikut:
1. Ketentuan-ketentuan
hukum pelengkap yang menurut sifatnya berlaku secara sangat umum, sehingag
dibutuhkan pelengkap pada hukum pelengkap itu. Peranan ini diisi oleh
perjanjian baku, jadi memerinci pelaksanaan lebih lanjut dari hukum pelengkap
yang ada.
2. Tidak
hanya melengkapi tetapi juga menyimapng dari hukum pelengkap.
Pihak
yang tidak senang terhadap syarat pernyataan lalai dapat membebaskan diri dari
kewajiban itu dicantumkan dalam perjanjian baku. Dengan adanya perjanjian baku
ini yang diterapkan oleh pihak bank, keadaan yang demikian, disinilah terlihat
tidak berdayanya nasabah. Nasabah harus menerima keadaan yang ada, nasabah
berada dalam kedudukan yang lemah secara yuridis dan berada dalam kedudukan
yang kurang menguntungkan, karena tidak terlibat secara langsung dalam
pembuatan kesepakatan perjanjian/persetujuan sesuai yang diamanatkan oleh
undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPdt dan Pasal 1320 KUHPdt.
Nasabah tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa untuk menerima
persyaratan-persyaratan perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dan disodorkan
kepadanya. Jelas hal ini yaitu perjanjian baku yang sudah dibuat dan disediakan
oleh bank sangat merugikan pihak nasabah, karena dari segi isi perjanjian jelas
kepentingan pihak nasabah tidak dipikirkan oleh bank. Berdasarkan ‘perjanjian’
yang dibuat atau yang terjadi antara bank dengan nasabah, maka tentunya hal ini
berarti para pihak dalam hal ini bank sebagai suatu badan usaha dan nasabah
baik secara perorangan ataupun badan usaha mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi dalam rangka terlaksananya perjanjian/persetujuan yang ada.
Walaupun perjanjian yang dibuat tidaklah sesuai dengan keinginan dari nasabah,
namun harus dilaksanakan karena nasabah berada dalam posisi yang lemah. Dalam
hubungan bank dengan nasabah, bank mempunyai kewajiban untuk:
1. Menjamin
kerahasiaan identitas nasabah berserta dengan dana yang disimpan pada bank,
kecuali kalau peraturan perundang-undangan menentukan lain;
2. Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati;
3. Membayar bunga simpanan sesuai perjanjian;
4. Mengganti kedudukan debitor dalam hal nasabah
tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada pihak ketiga;
5. Melakukan
pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas L/C, sepanjang
persyaratan untuk itu telah dipenuhi;
6. Memberikan
laporan kepada nasabah terhadap perkembangan simpanan dananya di bank; dan 7.
Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas.
Sebaliknya bank berhak
untuk :
1.
Mendapatkan provid terhadap layanan jasa
yang diberikan kepada nasabah;
2.
Menolak pembayaran apabila tidak
memenuhi persyaratan yang telah disepakti bersama.
3.
Melelang agunan dalam hal nasabah tidak
mampu melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan akad kredit yang
telah ditandatangani kedua belah pihak;
4.
Pemutusan rekening nasabah (klausul ini
cukup banyak ditemui dalam praktik); dan
5.
Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku
tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening;
Nasabah berkewajiban
untuk:
1.
Mengisi dan menandatangi formulir yang
telah disediakan oleh bank, sesuai dengan layanan jasa yang diinginkan oleh
calon nasabah;
2.
Melengkapi persyaratan yang ditentukan
oleh bank;
3.
Menyetor dana awal yang ditentukan oleh
bank. Dalam hal ini, dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis
layanan jasa yang diinginkan;
4.
Membayar provinsi yang ditentukan oleh
bank; dan
5.
Menyerahkan buku cek/giro bilyet
tabungan.
Nasabah berhak untuk:
1.
Mendapatkan layanan jasa yang diberikan
oleh bank, seperti fasilitas kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
2.
Nasabah berhak untuk mengetahui secara
terperinci tentang produk-produk perbankan yang ditawarkan;
3.
. Mendapatkan laporan atas transaksi
yang dilakukan melalui bank;
4.
Menuntut bank dalam hal terjadi
pembocoran rahasia nasabah;
5.
Nasabah berhak mendapat bunga atas
produk tabungan dan deposito yang telah diperjanjikan terlebih dahulu;
6.
Mendapatkan agunan kembali, bila kredit
yang dipinjam telah lunas; dan
7.
Mendapat sisa uang pelelangan dalam hal
agunan dijual untuk melunasi kredit yang tidak terbayar.
Hubungan
hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, artinya bank menempatkan
dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat (para penanam dana). Pasal 1
angka 17 UU No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘nasabah
penyimpan’ adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Bentuk
hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari
hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan, seperti deposito,
tabungan, giro dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dapat tertuang dalam
bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat umum yang harus
dipatuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana. Syarat-syarat tersebut harus
disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat dari suatu produk
perbankan tidak akan sama dengan syarat dari produk perbankan yang lain.
Sedangkan pertanggungjawaban bank apabila nasabah mengalami kerugian adalah
dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah,
untuk menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan nasabah
dilakukan dengan standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Risiko
yang terdapat dalam perjanjian kredit bank dapat dilihat dari dua sisi yaitu
risiko yang ditanggung oleh bank sebagai kreditur dan risiko yang ditanggung
oleh nasabah debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa
Credit Risk Strategic Risk, Regulatory Risk Operating Risk, Commodity Risk,
Human Resources Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh
nasabah debitur antara lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari
perjanjian kredit bank yang baku (standar). Sementara perlindungan hukum terhadap nasabah yang menggunakan layanan
elektronik baking sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005
tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah” sesuai dengan amanat dalam UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, menjaga keamanan serta pelayanan yang terbaik
kepada nasabah maka pihak bank yang pertama, ganti rugi kepada Nasabah atas
kerugian dan kealpaan yang dilakukan oleh pihak Bank dengan terlebih dahulu
menindak lanjuti atas keluhan Nasabah atas kerugian yang di deritanya, dan
apabila terbukti benar maka pihak Bank akan memenuhi pembayaran ganti rugi atas
kerugian yang diakibatkan oleh Bank. Yang kedua, jika terbukti adanya
keterlibatan pihak Bank atau oknum karyawan yang lalai yang mengakibatkan
kerugian di pihak Bank, maka Bank berdasarkan kode etik memberikan tindakan
atas kelalaian Karyawan tersebut yang mengakibatkan kerugian di pihak nasabah.
Yang ketiga, apabila pihak Bank tidak mampu untuk memenuhi apa yang menjadi
tanggung jawabnya atas kelalaian bank, maka atas ketidakmampuan Bank atas
tanggung jawabnya maka Bank akan menerima sanksi atau konsekuensi atas reputasi
dan kredibilitas Bank dalam tanggung jawabnya melindungi nasabah.
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan
hukum antara bank dan nasabah diatur oleh suatu peranjian dan didsari oleh dua
unsure yaitu hukum dan kepercayaan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang dijelaskan secara umum . Sementara itu, perlindungan
terhadap nasabah yang menggunakan layanan elektronik baking diatur pula dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
“Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” .
Saran
1. Hubungan
hukum bank dengan nasabah yang bersifat hubungan hukum non kotraktual yang
berdasarkan pada kepercayaan belaka harus diatur dengan jelas agar pihak-pihak
yang terkait dalam hubungan hukum tersebut merasa aman dan mendapatkan
perlindungan secara hukum.
2. Bagi
calon nasabah debitur sebelum menandatangani isi perjanjian kredit bank
sebaiknya mempelajari isi perjanjian dan jika perlu berkonsultasi terlebih
dahulu kepada seorang konsultan hukum yang menguasai bidang perkreditan.
3. Setiap
lembaga perbankan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan
kepastian hukum bagi nasabah, dan juga bekerjasama dengan lembaga perlindungan
konsumen dan Bank Indonesia untuk terus menciptakan aturan yang dapat memenuhi
kebutuhan keamanan guna kepastian hukum nasabah.
DAFTAR PUSTAKA
Takasenseran, M. P. (2016). PERJANJIAN ANTARA BANK DAN NASABAH
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998. LEX ET SOCIETATIS, 4(7).
Quila, Indah. (2015, Maret). MAKALAH PERLINDUNGAN NASABAH.
Diperoleh pada 16 April 2018 di http://indahaquilla.blogspot.co.id/2015/03/makalah-perlindungan-nasabah.html
Hamin, M. W. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Nasabah
(Debitur) Bank sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank terhadap Risiko dalam
Perjanjian Kredit Bank. Lex Crimen, 6(1).
SYAH, I. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Atas
Penggunaan Layanan Elektronik Banking (E-banking) Pada Bank Rakyat Indonesia
(Riset Pada Bank Rakyat Indonesia Unit Melati). Civil Law, 2.
Berikut Link untuk download
Semoga makalah ini bisa membantu teman- teman
No comments:
Post a Comment