Tuesday, January 29, 2019

Makalah Hubungan Hukum Bank dengan Nasabah

Selamat malam guys....
Perkenalkan nama saya Devy Shandra
Disini saya mau share tentang hukum perbankan yang kebetulan di kasih tugas sama dosen nih, buat teman-teman yang agak  suasah buat nyari materi tentang hukum perbankan terutama yang materinya berkaitan dengan hubungan hukum antara bank dan nasabah, atau yang pengen tau gimana sih hubungan hukum antara nasabah dengan pihak bank, atau  bagaimana hukum melindungi nasabah atas penggunaan layanan elektronik banking (e-banking) dan bentuk pertanggungjawaban pihak bank jika terjadi wanprestasi.
 Disini saya nggak mau panjang lebar, teman-teman bisa langsung kepoin tentang bagaimana hubungan pihak bank dengan nasabah.



MAKALAH
HUBUNGAN HUKUM BANK DENGAN NASABAH

Oleh :
Nama :
Devy Shandra Purwati
NIM :
D1A016062
Kelas :
A
Matkul :
Hukum Perbankan
Dosen Pengampu :
Zuhairi


UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS HUKUM
MATARAM
2018

DAFTAR ISI






DAFTAR ISI

DAFTAR ISI  ...................................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 2
BAB II.PEMBAHASAN..................................................................................... 4
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 5
Kesimpulan................................................................................................ 5
Penutup..................................................................................................... 5
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 8






















BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Lembaga
Perbankan di Indonesia yang terus berkembang menjadikan perbankan sebagai komponen penting dalam perekonomian nasional saat ini, lembaga perbankan sudah dikenal di Indonesia sejak VOC mendirikan Bank Van Leening pada tahun 1746 yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank Van Leening pada tahun 1752 di Jawa yang merupakan bank pertama di Indonesia. Lembaga perbankan semakin mendapat kepercayaan masyarakat Indonesia hal ini terbukti dengan semakin tumbuh dan berkembangannya bank mulai dari jenis hingga bermacam-macam kegiatan operasional perbankan yang ditawarkan kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 2 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank:
       “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Kegiatan operasional bank tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang dikenal dalam dunia perbankan sebagai nasabah, nasabah sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 angka 16 UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan adalah pihak yang menggunakan jasa bank. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dasar perikatan antara nasabah dan bank adalah rasa kepercayaan, yang mengharuskan bank agar dapat terus menjaga kepercayaan nasabah/masyarakat dalam setiap bentuk kegiatan operasionalnya, oleh karena itu kegiatan perbankan membutuhkan aturan hukum yang dapat menjaga hubungan bank dan nasabah, hukum perbankan yang berisi segala norma hukum yang berlaku dan mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan praktek perbankan yang diakui baik secara tertulis maupun yang tidak tertulis. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, terutama dalam Pasal 29 ayat (3) yang menekankan asas kepercayaan nasabah dan Pasal 29 ayat (2) yang menekankan prinsip kehati-hatian yang berlaku umum dalam usaha perbankan yang menjalankan kegiatan usahanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan hukum bank dengan nasabah
2.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah atas penggunaan layanan elektronik banking (e-banking) dan bentuk pertanggungjawaban pihak bank.

BAB II PEMBAHASAN
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak mengatur secara tegas perihal hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Akan tetapi dari beberapa ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah diatur oleh suatu “Perjanjian”. Hal ini dapat disimpulkan antara lain dari Pasal 1 ayat (5) UU No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi:
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan ‘perjanjian penyimpanan’ dan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau untuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.”
 Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa simpanan masyarakat yang ada di bank, dasarnya adalah ‘perjanjian’. Dari bunyi Pasal 1 ayat (5) di atas, maka simpanan masyarakat di bank dapat berupa:
1.      Giro; adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindah bukuan (Pasal 1 ayat (6).
2.       Deposito; adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. (Pasal 1 ayat (7).
3.       Sertifikat Deposito: adalah simpanan dalam bentuk deposito yangs ertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan (Pasal 1 ayat (8).
4.      Tabungan; adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakti, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan alat lainnya yang dapat dipersamakaan dengan itu. (Pasal 1 ayat (9).
5.      Penitipan; adalah penyimpan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak anatar Bank umum dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut. (Pasal 1 ayat 14).
Dari ketentuan di atas, terlihat bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah diatur oleh ‘hukum perjanjian’. Hukum perjanjian memang merupakan suatu hal yang menjadi dasar apabila di antara dua orang akan melakukan hubungan dalam bidang hukum. Dalam hukum perjanjian diatur tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Dalam berbagai literatur tentang hukum perjanjian disebutkan bahwa Buku III KUHPdt menganut ‘sistem terbuka’, yang artinya bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa yang diinginkan oleh para pihak, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dari pengertian tentang sistem terbuka ini, maka hal-hal yang diatur dalam Buku III KUHPdt adalah sebagai hukum pelengkap. Karena ada beberapa hal yang diatur dalam ketentuan tersebut boleh dikesampingkan, apabila dikehendaki oleh para pihka yang membuat perjanjian tersebut. Artinya, mereka diperbolehkan untuk membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian, sepanjang hal tersebut tersebut tidak bertentang dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Ada hal yang perlu untuk disadari oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian atau kontrak yakni timbulnya akibat hukum yang ditimbulkan dengan ditandatanganinya suatu perjanjian atau kontrak. Akibat hukum tersebut yaitu bahwa dengan sendirinya perjanjian atau kontrak yang telah dibuat dan telah ditandatangani akan mengikat para pihak yang terlibat dalam perjanjian atau kontrak tersebut. Asas mengikat para pihak ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPdt yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Selain itu juga sahnya perjanjian terdapat pada pasal 320 KUHpdt dikenal dengan ‘Asas kesepakatan” atau sering juga disebut ‘asas konsensualisme’. Apabila dikaji secara lebih seksama, hakikat dari asas kebebasan berkontrak dan asas kesepakatan akan mempunyai makna bahwa ‘posisi tawar menawar para pihak berada dalam taraf sejajar, sehingga para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki oleh masing-masing pihak’. Bagaimana halnya dengan hubungan antara bank dengan nasabah dalam pembuatan suatu perjanjian antara bank dengan nasabah, sebab dalam praktik, pada umumnya bank telah membuat suatu formulir sendiri. Dan biasanya dalam pembuatan formulir tersebut, yang secara sepihak sudah dibuat oleh pihak bank, telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan sendiri oleh pihak bank. Sebenarnya, formulir yang dibuat dan disediakan oleh bank dan berisikan syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh pihak nasabah merupakan tindakan sepihak dari bank, sebab asas kesepakatan menghendaki bahwa dua belah pihak terjadi kesepakatan untuk mengadakan suatu perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak mengartikan bahwa dua belah pihak dapat menentukan bentuk hubungan hukum yang bagaimana dan juga bagaimana isi dari perjanjian yang akan mengatur hubungan kedua pihak tersebut. Pembuatan formulir secara sepihak oleh para ahli hukum disebut sebagai ‘perjanjian baku’, yaitu perjanjian yang isinya telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis.Perjanjian baku (standar contract) adalah perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat telah dipersiapkan dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pemakainya dan mengikat pihak lain. Pihak lain tersebut tidak dapat mengubah atau melakukan tawar menawar untuk mengubahnya. Atau dengan kata lain, yang dibakukan disini adalah klausul klausulnya yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat perjanjian.Perjanjian baku ini yang dibuat oleh pihak bank sudah menyalahi asas yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang ‘sahnya suatu perjanjian’ dimana salah satu syaratnya menentukan bahwa harus ada kesepakatan antara dua belah pihak. Dengan telah dibuatnya ketentuan mengenai persyaratan-persyaratan perjanjian, yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank, karena hanya oleh pihak bank sendiri, padahal undang-undang sudah menentukan bahwa perjanjian atau persetujuan yang dibuat harus atas kesepakatan kedua pihak (Pasal 1320 KUHPdt) dan oleh karenanya akan mengikat bagi kedua pihak dan akan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua pihak dalam hal ini bank dengan nasabah (Pasal 1338 KUHPdt), maka hal ini telah bertentangan dengan asas yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPdt yaitu ‘asas kebebasan berkontrak’ dan asas yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPdt tentang ‘asas kesepakatan’. Perjanjian baku yang telah dibuat oleh pihak bank ini bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPdt dan Pasal 1320 KUHPdt, disamping juga bertentangan dengan kesusilaan. Dalam hal yang demikian, apabila dilihat dari sudut pandang kontrak standar, bagi nasabah hanya dihadapkan pada dua pilihan yakni menyetujui atau tidak menyetujui persyaratan yang sudah ditetapkan secara sepihak oleh pihak bank tersebut yang sudah dituangkan dalam kontrak tersebut. Tidak lagi ada kesetaraan diantara dua pihak yaitu antara bank dengan nasabah. Perjanjian baku ini didalam praktik perjanjian ada dan terus bertumbuh karena keadaan menghendakinya dan diterima sebagai kenyataan. Nieuwenhuis mengemukakan dua alasan mengapa ada perjanjian baku sebagai berikut:
1.      Ketentuan-ketentuan hukum pelengkap yang menurut sifatnya berlaku secara sangat umum, sehingag dibutuhkan pelengkap pada hukum pelengkap itu. Peranan ini diisi oleh perjanjian baku, jadi memerinci pelaksanaan lebih lanjut dari hukum pelengkap yang ada.
2.      Tidak hanya melengkapi tetapi juga menyimapng dari hukum pelengkap.
Pihak yang tidak senang terhadap syarat pernyataan lalai dapat membebaskan diri dari kewajiban itu dicantumkan dalam perjanjian baku. Dengan adanya perjanjian baku ini yang diterapkan oleh pihak bank, keadaan yang demikian, disinilah terlihat tidak berdayanya nasabah. Nasabah harus menerima keadaan yang ada, nasabah berada dalam kedudukan yang lemah secara yuridis dan berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan, karena tidak terlibat secara langsung dalam pembuatan kesepakatan perjanjian/persetujuan sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPdt dan Pasal 1320 KUHPdt. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa untuk menerima persyaratan-persyaratan perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dan disodorkan kepadanya. Jelas hal ini yaitu perjanjian baku yang sudah dibuat dan disediakan oleh bank sangat merugikan pihak nasabah, karena dari segi isi perjanjian jelas kepentingan pihak nasabah tidak dipikirkan oleh bank. Berdasarkan ‘perjanjian’ yang dibuat atau yang terjadi antara bank dengan nasabah, maka tentunya hal ini berarti para pihak dalam hal ini bank sebagai suatu badan usaha dan nasabah baik secara perorangan ataupun badan usaha mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam rangka terlaksananya perjanjian/persetujuan yang ada. Walaupun perjanjian yang dibuat tidaklah sesuai dengan keinginan dari nasabah, namun harus dilaksanakan karena nasabah berada dalam posisi yang lemah. Dalam hubungan bank dengan nasabah, bank mempunyai kewajiban untuk:
1.      Menjamin kerahasiaan identitas nasabah berserta dengan dana yang disimpan pada bank, kecuali kalau peraturan perundang-undangan menentukan lain;
2.       Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati;
3.       Membayar bunga simpanan sesuai perjanjian;
4.       Mengganti kedudukan debitor dalam hal nasabah tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada pihak ketiga;
5.      Melakukan pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas L/C, sepanjang persyaratan untuk itu telah dipenuhi;
6.      Memberikan laporan kepada nasabah terhadap perkembangan simpanan dananya di bank; dan 7. Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas.
Sebaliknya bank berhak untuk :
1.      Mendapatkan provid terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah;
2.      Menolak pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan yang telah disepakti bersama.
3.      Melelang agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan akad kredit yang telah ditandatangani kedua belah pihak;
4.      Pemutusan rekening nasabah (klausul ini cukup banyak ditemui dalam praktik); dan
5.       Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening;
Nasabah berkewajiban untuk:
1.      Mengisi dan menandatangi formulir yang telah disediakan oleh bank, sesuai dengan layanan jasa yang diinginkan oleh calon nasabah;
2.      Melengkapi persyaratan yang ditentukan oleh bank;
3.      Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank. Dalam hal ini, dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis layanan jasa yang diinginkan;
4.      Membayar provinsi yang ditentukan oleh bank; dan
5.      Menyerahkan buku cek/giro bilyet tabungan.
Nasabah berhak untuk:
1.      Mendapatkan layanan jasa yang diberikan oleh bank, seperti fasilitas kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
2.      Nasabah berhak untuk mengetahui secara terperinci tentang produk-produk perbankan yang ditawarkan;
3.      . Mendapatkan laporan atas transaksi yang dilakukan melalui bank;
4.      Menuntut bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia nasabah;
5.      Nasabah berhak mendapat bunga atas produk tabungan dan deposito yang telah diperjanjikan terlebih dahulu;
6.      Mendapatkan agunan kembali, bila kredit yang dipinjam telah lunas; dan
7.      Mendapat sisa uang pelelangan dalam hal agunan dijual untuk melunasi kredit yang tidak terbayar.
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, artinya bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat (para penanam dana). Pasal 1 angka 17 UU No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘nasabah penyimpan’ adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan, seperti deposito, tabungan, giro dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum itu dapat tertuang dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat umum yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana. Syarat-syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat dari suatu produk perbankan tidak akan sama dengan syarat dari produk perbankan yang lain. Sedangkan pertanggungjawaban bank apabila nasabah mengalami kerugian adalah dengan menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, untuk menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan nasabah dilakukan dengan standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Risiko yang terdapat dalam perjanjian kredit bank dapat dilihat dari dua sisi yaitu risiko yang ditanggung oleh bank sebagai kreditur dan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa Credit Risk Strategic Risk, Regulatory Risk Operating Risk, Commodity Risk, Human Resources Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur antara lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari perjanjian kredit bank yang baku (standar). Sementara perlindungan hukum  terhadap nasabah yang menggunakan layanan elektronik baking sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” sesuai dengan amanat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menjaga keamanan serta pelayanan yang terbaik kepada nasabah maka pihak bank yang pertama, ganti rugi kepada Nasabah atas kerugian dan kealpaan yang dilakukan oleh pihak Bank dengan terlebih dahulu menindak lanjuti atas keluhan Nasabah atas kerugian yang di deritanya, dan apabila terbukti benar maka pihak Bank akan memenuhi pembayaran ganti rugi atas kerugian yang diakibatkan oleh Bank. Yang kedua, jika terbukti adanya keterlibatan pihak Bank atau oknum karyawan yang lalai yang mengakibatkan kerugian di pihak Bank, maka Bank berdasarkan kode etik memberikan tindakan atas kelalaian Karyawan tersebut yang mengakibatkan kerugian di pihak nasabah. Yang ketiga, apabila pihak Bank tidak mampu untuk memenuhi apa yang menjadi tanggung jawabnya atas kelalaian bank, maka atas ketidakmampuan Bank atas tanggung jawabnya maka Bank akan menerima sanksi atau konsekuensi atas reputasi dan kredibilitas Bank dalam tanggung jawabnya melindungi nasabah.


BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan hukum antara bank dan nasabah diatur oleh suatu peranjian dan didsari oleh dua unsure yaitu hukum dan kepercayaan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dijelaskan secara umum . Sementara itu, perlindungan terhadap nasabah yang menggunakan layanan elektronik baking diatur pula dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” .
Saran
1.      Hubungan hukum bank dengan nasabah yang bersifat hubungan hukum non kotraktual yang berdasarkan pada kepercayaan belaka harus diatur dengan jelas agar pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum tersebut merasa aman dan mendapatkan perlindungan secara hukum.
2.      Bagi calon nasabah debitur sebelum menandatangani isi perjanjian kredit bank sebaiknya mempelajari isi perjanjian dan jika perlu berkonsultasi terlebih dahulu kepada seorang konsultan hukum yang menguasai bidang perkreditan.
3.      Setiap lembaga perbankan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan kepastian hukum bagi nasabah, dan juga bekerjasama dengan lembaga perlindungan konsumen dan Bank Indonesia untuk terus menciptakan aturan yang dapat memenuhi kebutuhan keamanan guna kepastian hukum nasabah.

















DAFTAR PUSTAKA

Takasenseran, M. P. (2016). PERJANJIAN ANTARA BANK DAN NASABAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998. LEX ET SOCIETATIS4(7).
Quila, Indah. (2015, Maret). MAKALAH PERLINDUNGAN NASABAH. Diperoleh pada 16 April 2018 di http://indahaquilla.blogspot.co.id/2015/03/makalah-perlindungan-nasabah.html
Hamin, M. W. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank terhadap Risiko dalam Perjanjian Kredit Bank. Lex Crimen6(1).
SYAH, I. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Atas Penggunaan Layanan Elektronik Banking (E-banking) Pada Bank Rakyat Indonesia (Riset Pada Bank Rakyat Indonesia Unit Melati). Civil Law2.




Berikut Link untuk download 


Semoga makalah ini bisa membantu teman- teman


No comments:

Post a Comment

QS. AL FATIR AYAT 32 PEMBAHASAN DAN HUKUM TAJWIDNYA

QS. AL-FATIR AYAT 32     ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِم...